Jakarta -
Presiden Joko Widodo (Jokowi) buka suara soal Indonesia yang mengalami deflasi selama berbulan-bulan. Indonesia mengalami deflasi selama 4 bulan berturut-turut sejak April 2024.
Menurutnya, deflasi bukan berarti berita buruk. Katanya, dengan adanya deflasi pasokan kebutuhan pokok di pasar jadi lebih terjaga.
"Jadi kalau inflasi itu berada pada posisi deflasi selama 4 bulan saya kira memang karena pasokannya cukup, distribusinya baik dan saya cek di lapangan memang keadaannya seperti itu," ujar Jokowi di Pasar Soponyono, Jawa Timur, Jumat (6/9/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harga-harga kebutuhan pokok disebutnya menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat. Dia menyebutkan, inflasi pangan juga terjaga dengan baik.
"Ya saya kira baik ya. Jadi inflasi inti kita terutama pangan itu pada kondisi yang baik," sebut Jokowi.
Di Pasar Soponyono misalnya, Jokowi mengecek harga bawang merah yang biasanya di atas Rp 40.000, setelah dicek cuma Rp 25.000 per kilogram.
"Kemudian telur juga 24.000 ya untuk harga pangan ini sebagian ada yang turun, dan yang naik saya lihat nggak ada," ujar Jokowi.
Deflasi seringkali dikaitkan dengan melemahnya daya beli di tengah masyarakat. Belanja ditahan dan membuat permintaan jadi minim di pasar. Prinsip dasar ekonomi menyebutkan, bila permintaan melemah di pasar maka harga-harga akan turun. Di situ lah deflasi bisa terjadi.
Data deflasi di halaman berikutnya.
Terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,03% (
month to month/mtm) pada Agustus. Sementara itu, pada Juli terjadi deflasi 0,18%, dan pada Juni juga deflasi 0,08%. Deflasi pertama kali terjadi pada Mei di rentang 0,03%.
Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini membantah deflasi empat bulan beruntun ini disebabkan karena pelemahan daya beli masyarakat. Melainkan lebih ditunjukkan dari sisi supply (pasokan).
"Fenomena deflasi empat bulan ini lebih ditunjukkan dari sisi supply, di mana panen beberapa komoditas tanaman pangan, hortikultura dan turunnya biaya produksi seperti pada livebird sempat juga turunnya harga jagung pipilan untuk bahan pakan ternak, yang hal ini mendorong deflasi komoditas telur ayam ras dan daging ayam ras," kata Pudji dalam konferensi pers, Senin (2/9/2024) lalu.
Pudji menegaskan, deflasi masih terjadi di sisi penawaran. Jika hal ini kemudian diduga berdampak pada pendapatan masyarakat di subsektor hortikultura, peternakan dan lainnya, BPS dinilai perlu mengkaji lebih lanjut untuk membuktikan asumsi tersebut.
Jika terjadi tekanan daya beli masyarakat, Pudji menyebut hal ini akan tampak pada konsumsi non pangan. Rumah tangga pasti akan menahan konsumsi non makanan.
"Seharusnya terlihat pada turunnya permintaan atau demand dari konsumsi non makanan," ucap Pudji.
Jika ditarik ke belakang, BPS mencatat fenomena deflasi beruntun pernah terjadi pada 1999, tepatnya setelah krisis finansial Asia. Saat itu, Indonesia mengalami deflasi 7 bulan beruntun yakni pada Maret-September 1999.
"Ini sebagai akibat dari depresiasi nilai tukar dan penurunan harga terharap beberapa jenis barang," kata Pudji.
Periode deflasi lainnya pernah terjadi pada Desember 2008 sampai Januari 2009 selama krisis finansial global yang menyebabkan penurunan harga minyak dunia dan permintaan domestik yang melemah. Kemudian deflasi tiga bulan beruntun terjadi pada Juli-September 2020, di mana empat kelompok pengeluaran mengalami deflasi yaitu makanan, minuman dan tembakau; pakaian dan alas kaki; transportasi; informasi, komunikasi dan jasa keuangan.