Keponakan Prabowo Ungkap RI Dihadapkan Tantangan Baru Global, Apa Itu?

Keponakan Prabowo Ungkap RI Dihadapkan Tantangan Baru Global, Apa Itu?

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Selasa, 24 Sep 2024 12:39 WIB
Thomas Djiwandono melambaikan tangan saat bersiap untuk dilantik menjadi Wakil Menteri Keuangan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/7/2024). Presiden Joko Widodo melantik tiga wakil menteri yakni Thomas Djiwandono menjadi Wakil Menteri Keuangan, Sudaryono menjadi Wakil Menteri Pertanian, dan Yuliot Tanjung menjadi Wakil Menteri Investasi. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.
Wakil Menteri Keuangan II, Thomas Djiwandono/Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Jakarta -

Kondisi global masih penuh dengan ketidakpastian. Globalisasi yang mendatangkan banyak peluang dengan menghubungkan pasar, kini mendatangkan tantangan baru.

Wakil Menteri Keuangan II, Thomas Djiwandono mengatakan, tantangan ini hadir utamanya dalam bidang perpajakan. Fragmentasi global dan persaingan geopolitik tengah membentuk kembali kebijakan perdagangan dan pajak.

"Terutama antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Uni Eropa. Ketegangan geopolitik ini telah menambah kompleksitas perpajakan internasional," kata Thomas yang merupakan keponakan Prabowo Subianto, dalam acara International Tax Forum 2024, disiarkan secara daring di YouTube BKF Kemenkeu, Selasa (24/9/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Thomas mengatakan, negara-negara kini mengadopsi strategi yang berbeda dalam menanggapi kondisi ini, khususnya dengan meningkatkan nasionalisme ekonominya masing-masing. Hal ini berkontribusi terhadap fragmentasi dan ketidakpastian yang lebih besar dalam sistem pajak global.

"Dengan meningkatnya ketidakpastian dari fragmentasi geopolitik dan global, Indonesia menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan hubungan dengan mitra dagang kita," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Ketika tarif dan ketegangan geopolitik mempengaruhi manufaktur dan ekspor global, menurutnya, Indonesia harus tetap menavigasi di tengah keretakan global sambil tetap memperkuat ekonomi domestiknya.

Thomas menambahkan, perkembangan ini juga memperjelas adanya pergeseran arah kebijakan pajak. Ketika perusahaan multinasional bereaksi terhadap ketegangan perdagangan, mereka cenderung mengalihkan operasi dan laba mereka ke luar batas negara.

"Dengan perkembangan ini, Indonesia, seperti banyak negara berkembang lainnya, dapat berisiko kehilangan pendapatan pajak. Di luar pergerakan perdagangan ini, ketika bisnis berkembang dan teknologi digital mengaburkan batas negara, sistem pajak tradisional menjadi ketinggalan zaman," kata dia.

"Perusahaan multinasional beroperasi di banyak negara tanpa kehadiran fisik, menantang di mana laba harus dikenakan pajak dan mengganggu kerangka pajak domestik," sambungnya.

Akibat dari kondisi ini, menurutnya akan tercipta ketidakselarasan yang semakin besar antara tempat laba dihasilkan dan tempat pajak dibayarkan. Akan ada banyak negara, terutama yang masih berkembang, berada pada posisi yang kurang menguntungkan.

Thomas mengatakan, banyak negara merasa tidak mampu memperoleh bagian yang adil dari pendapatan pajak dari perusahaan yang memperoleh pendapatan signifikan dari konsumen tetapi tidak memiliki operasi fisik. Menurutnya, ketidakseimbangan ini hanya akan memperdalam kesenjangan ekonomi global.

"Kerangka pajak tradisional tidak mampu mengakomodasi tantangan yang muncul dari digitalisasi ekonomi global. Dengan demikian, beberapa negara telah mengambil langkah-langkah unilateral, salah satunya melalui penerapan pajak layanan digital," ujar Thomas.

Menurut Thomas, kebijakan pajak yang kuat sangat penting untuk menghasilkan pendapatan yang dibutuhkan dalam mendukung layanan publik dan mendorong pemulihan ekonomi. Salah satu kebijakan utama adalah melalui pengelolaan peralihan perpajakan lintas batas dan penghindaran pajak.

"Untuk mengatasi tantangan yang timbul dari digitalisasi ekonomi, persaingan tarif pajak dan penghindaran pajak, diperlukan solusi global untuk membangun sistem pajak internasional yang harmonis guna melindungi basis pajak. G20 dan OECD, telah bekerja sama untuk memberikan solusi, yang merupakan solusi dua pilar," kata dia.

Pilar 1 bertujuan untuk mengalokasikan kembali sebagian hak perpajakan ke yurisdiksi pasar, memastikan distribusi laba dan pendapatan pajak yang lebih adil. Hal ini sejalan dengan kegiatan ekonomi perusahaan di setiap yurisdiksi.

Berikutnya, inisiatif Pilar 2 muncul sebagai respons terhadap persaingan yang tidak sehat, yang mendorong OECD untuk mengusulkan pajak minimum global sebesar 15%. Hal ini untuk menyamakan kedudukan dan mengekang pengalihan laba ke yurisdiksi dengan pajak rendah.

Simak Video: Jadi Wamenkeu II, Thomas Djiwandono Akan Ikut Susun RAPBN 2025

[Gambas:Video 20detik]



(shc/ara)

Hide Ads