Wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% masih belum jelas. Rencana tersebut diketahui belum masuk ke dalam hitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BKF Kementerian Keuangan Wahyu Utomo menjelaskan, pemerintah sendiri pada dasarnya menjalankan amanat undang-undang.
Namun untuk merealisasikannya, menurutnya, pemerintah tetap perlu mempertimbangkan berbagai hal. Hal ini termasuk dengan kondisi ekonomi.
"Misalnya ada yang di masyarakat, kondisi perekonomian, momentum yang tepat. Jadi ini memang nanti diskresinya bagi Presiden terpilih lah. Jadi nggak bisa dijawab," kata Wahyu, dalam acara Media Gathering di Anyer, Banten, Rabu (25/9/2024).
Wahyu menambahkan, rencana penyesuaian tarif PPN menjadi 12% ini telah tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
"Namun, dalam implementasi tetap mempertimbangkan suasana masyarakat, termasuk daya belinya, kondisi perekonomian, dan
mungkin momentum yang tepat," terangnya.
Oleh karena itu, keputusan ini akan kembali kepada pemerintahan berikutnya di bawah Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam kabinet baru.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri telah memberikan ruang diskresi dalam APBN 2025 untuk pemerintahan berikutnya melakukan penyesuaian. Termasuk apabila PPN 12% ini diterapkan.
Wahyu menjelaskan, diskresi sendiri diberikan dalam rangka memberikan ruang fleksibilitas dalam APBN. Hal ini diperlukan agar APBN bisa lebih responsif dalam mendukung proses transisi pemerintahan.
"Kemudian transisi ini kan juga harus dikawal, biar berjalan efektif. Artinya apa? APBN itu harus ada salah satu belanja yang fleksibel. Kalau APBN nggak fleksibel, itu nggak akan responsif. Makanya, di dalam APBN itu selalu ada ruang-ruang untuk fleksibilitas. Salah satunya adalah belanja," terangnya.
Namun demikian, ia menekankan ruang-ruang fleksibilitas ini tetap harus dijalankan dengan mengacu pada payung hukum yang berlaku. Dalam konteks ini, fleksibilitas tercantum dalam Undang-Undang APBN.
Sebagai tambahan informasi, dalam UU APBN 2025, ditargetkan pendapatan negara mencapai Rp 3.005,1 triliun, didukung oleh penerimaan perpajakan sebesar Rp 2.490,9 triliun. Dari jumlah itu, setoran PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sebesar Rp 945,12 triliun.
Ketua Badan Anggaran Said Abdullah mengatakan penerimaan perpajakan tahun depan belum termasuk perhitungan jika PPN 12% diberlakukan di 2025. Dia menyebut kebijakan itu harus dibahas kembali dengan pemerintah baru bersama Komisi XI DPR RI.
"Belum, 2024 di antaranya itu tidak termasuk PPN 12% dari 11% ke 12%. Kita nggak berkehendak menaikkan itu. Karena itu nanti ketentuan baru di tahun 2025 pemerintah meminta persetujuan Komisi XI," ujar Said, ditemui di DPR RI, Selasa (17/9/2024) lalu.
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) II Thomas Djiwandono mengatakan, hal ini baru dapat dipastikan usai pergantian pemerintahan ke Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Menurutnya, rencana kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% telah diketahui oleh Prabowo. Hal ini selanjutnya akan dibahas dan dijawab kabinet berikutnya terbentuk.
"Yang penting presiden terpilih sudah terinformasi mengenai hal tersebut. Nanti pasti akan ada penjelasan lebih lanjut kalau sudah ada kabinet terbentuk," kata Thomas dalam acara Media Gathering di Anyer, Banten, Rabu (25/9/2024).
(shc/das)