Ekonomi Israel Pikul Beban Terberat Gegara Perang

Ekonomi Israel Pikul Beban Terberat Gegara Perang

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Sabtu, 05 Okt 2024 20:45 WIB
Pawai Bendera Israel digelar di Yerusalem, Minggu (29/5). Pawai itu merupakan bagian dari peringatan tahunan yang menandai pendudukan timur Yerusalem pada 1967.
Ilustrasi/Pawai Bendera Israel/Foto: Reuters
Jakarta -

Hampir satu tahun setelah serangan Hamas ke Israel, negara tersebut berupaya mempertahankan ekonomi sambil tetap melancarkan serangan di tengah ketegangan geopolitik. Namun kondisi akan berbeda jika konflik di Timur Tengah meluas dan semakin intens.

Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich pada akhir September lalu mengatakan, ekonomi negara menanggung beban perang terpanjang dan termahal dalam sejarah. Meski ekonominya tertekan, ia optimistis negara itu tetap tangguh.

"Ekonomi Israel adalah ekonomi yang kuat yang bahkan saat ini menarik investasi," kata Smotrich dikutip dari CNN, Sabtu (5/10/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selama perang berlangsung, Israel telah melancarkan berbagai serangan seperti serangan darat terhadap Hizbullah di Lebanon, serangan udara di Gaza dan Beirut, serta mengancam akan membalas serangan rudal balistik Iran awal pekan ini.

Seiring dengan meluasnya konflik ke wilayah yang lebih luas, biaya perang diproyeksikan juga meningkat. Hal ini akan dialami baik bagi Israel maupun negara-negara lain di Timur Tengah.

ADVERTISEMENT

"Jika eskalasi baru-baru ini berubah menjadi perang yang lebih lama dan lebih intens, ini akan berdampak lebih besar pada aktivitas dan pertumbuhan ekonomi (di Israel)," kata mantan gubernur bank sentral Israel, Karnit Flug.

Konflik ini telah membuat krisis ekonomi dan kemanusiaan berkepanjangan di Gaza secara signifikan. Sementara itu, firma riset pasar milik Fitch Solutions, BMI juga memperkirakan ekonomi Lebanon menyusut 5% tahun ini karena serangan antara Hizbullah dan Israel.

Berdasarkan estimasi terburuk oleh Institut Studi Keamanan Nasional di Universitas Tel Aviv, ekonomi Israel dapat menyusut lebih dari itu. Bahkan dalam skenario yang lebih lentur, para peneliti melihat produk domestik bruto (PDB) per kapita Israel, yang dalam beberapa tahun terakhir melampaui Inggris, turun tahun ini. Hal ini karena populasi Israel tumbuh lebih cepat daripada ekonomi dan standar hidup.

Sebelum serangan 7 Oktober dan perang Israel-Hamas, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi Israel tumbuh 3,4% tahun ini. Namun sekarang, proyeksi ekonom berkisar antara 1-1,9%. Pertumbuhan tahun depan juga diperkirakan lebih lemah dari perkiraan sebelumnya.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Meski demikian, bank sentral Israel tidak dalam posisi untuk memangkas suku bunga guna menghidupkan kembali perekonomian karena inflasi meningkat, didorong oleh kenaikan upah dan melonjaknya belanja pemerintah untuk mendanai perang.

Bank Israel memperkirakan pada Mei biaya yang timbul akibat perang akan mencapai 250 miliar shekel (US$ 66 miliar) hingga akhir tahun depan, termasuk pengeluaran militer dan biaya sipil, seperti perumahan bagi ribuan warga Israel yang terpaksa meninggalkan rumah mereka di utara dan selatan. Jumlah tersebut setara dengan sekitar 12% dari PDB Israel.

Biaya tersebut akan terus meningkat karena pertempuran yang lebih sengit dengan Iran dan proksinya, termasuk Hizbullah di Lebanon, meningkatkan belanja pertahanan pemerintah.

Smotrich yakin bahwa ekonomi Israel akan bangkit kembali setelah perang berakhir. Namun, para ekonom khawatir kerusakannya berlangsung lama setelah konflik, bahkan peneliti di Institut Studi Keamanan Nasional juga pesimis. Penarikan pasukan dari Gaza dan ketenangan di perbatasan Lebanon disebut akan membuat ekonomi Israel berada dalam posisi lebih lemah daripada sebelum perang.

Demikian pula, potensi kenaikan pajak dan pemotongan belanja nonpertahanan untuk mendanai militer, dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Langkah-langkah tersebut, ditambah dengan melemahnya rasa aman, juga dapat memicu eksodus warga Israel yang berpendidikan tinggi, terutama pengusaha teknologi.

Kepergian para pembayar pajak berpenghasilan tinggi akan semakin merusak keuangan Israel yang terpukul akibat perang. Pemerintah telah menunda penerbitan anggaran untuk tahun depan karena bergulat dengan tuntutan dan upaya penyeimbangan. Konflik tersebut menyebabkan defisit anggaran Israel dua kali lipat menjadi 8% PDB, dari 4% sebelum perang.

Pinjaman pemerintah telah melonjak dan menjadi lebih mahal karena investor menuntut pengembalian yang lebih tinggi untuk membeli obligasi Israel dan aset lainnya. Beberapa penurunan peringkat kredit Israel yang dilakukan oleh Fitch, Moody's, dan S&P kemungkinan menaikkan biaya pinjaman negara itu lebih jauh lagi.

Sementara itu, Coface BDi, perusahaan analisis bisnis besar di Israel memperkirakan, 60.000 perusahaan Israel tutup tahun ini, naik dari rata-rata tahunan sekitar 40.000. Sebagian besar dari perusahaan-perusahaan ini kecil, dengan hingga lima karyawan.

"Ketidakpastian buruk bagi perekonomian, buruk bagi investasi," kata CEO Startup Nation Central, Avi Hasson.

Simak: Video: Penampakan Dampak Serangan Iran di Israel

[Gambas:Video 20detik]



Halaman 2 dari 2
(shc/ara)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads