Pemerintah pada 16 Desember 2024 yang lalu telah mengumumkan kebijakan penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, hanya naik tarif 1%. Kebijakan ini disertai dengan berbagai kebijakan insentif yang dirancang untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dan menstimulus perekonomian.
Di berbagai kanal publik, tak ayal kebijakan ini memunculkan polemik. Beberapa pihak khawatir kenaikan ini akan menambah beban ekonomi dan menurunkan daya beli. Bahkan, ada yang menganggap kenaikan tarif tersebut bukanlah 1% melainkan 9%, dan sebagainya.
Dalam masyarakat demokratis, polemik atas suatu kebijakan itu bagus agar proses diskusi terjadi di masyarakat. Artikel ini mencoba memberikan kontribusi atas diskusi di ruang publik dengan memberikan deskripsi lebih detail atas pilihan kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut, tentu sebatas pemahaman penulis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, kebijakan tarif PPN 12% (bukan kenaikan tarif sebesar 12%) merupakan kesepakatan antara pemerintah dengan DPR sewaktu pembahasan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Hampir seluruh fraksi di DPR menyatakan setuju dengan RUU HPP, termasuk kenaikan tarif PPN yang dilakukan secara bertahap, yaitu 11% mulai 1 April 2022 dan 12% paling lambat mulai 1 Januari 2025.
Rancangan awalnya adalah tarif PPN langsung naik dari 10% menjadi 12% dan mulai berlaku pada tahun 2022, tetapi karena pemerintah dan DPR sepakat agar kenaikan tersebut memberikan dampak yang lebih mulus, maka kenaikannya dilakukan secara bertahap.
Perubahan kebijakan dalam UU HPP sebetulnya tidak hanya PPN, tetapi juga penyesuaian tarif PPh untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan penyesuaian besaran pendapatan per lapisan tarif dan kenaikan tarif tertinggi dari 30% menjadi 35%. Semangat perubahan yang dilakukan dalam UU HPP adalah untuk membuat sistem perpajakan yang makin sehat, bersahabat terhadap iklim investasi dan makin kokoh menerapkan azas gotong- royong dan keadilan.
Penerapan azas keadilan sangat nyata dengan memberikan pengecualian atas pengenaan PPN untuk berbagai barang dan jasa yang pokok dibutuhkan masyarakat, antara lain seperti makanan: beras, jagung, daging, telur, susu segar, ikan, dan lain-lain; juga jasa pendidikan dan kesehatan, jasa transportasi umum, dan jasa keuangan.
Pemerintah dan DPR juga sepakat untuk memberikan perluasan lapisan penghasilan yang dikenakan tarif terendah 5% untuk WPOP dari yang semula sebesar Rp 50 juta menjadi Rp 60 juta; memberikan pembebasan PPh (0%) bagi WPOP UMKM dengan omzet sampai dengan Rp 500 juta dan bagi penghasilan Rp 500 juta ke atas sampai dengan 4,8 miliar dikenakan tarif PPh hanya sebesar 0,5%.
Kedua, untuk menerapkan azas gotong royong, atas barang dan jasa yang sebelumnya tidak dikenakan PPN, Pemerintah berencana untuk mengenakan PPN khusus untuk barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat sangat mampu/kaya, antara lain seperti beras tipe khusus dan kualitas yang sangat baik yang harganya sangat mahal, daging sapi wagyu, ikan impor untuk restoran kelas atas, pendidikan yang diselenggarakan swasta/asing yang sangat mahal (pendidikan swasta biasa tetap dibebaskan PPN); serta jasa kesehatan yang dikonsumsi oleh orang yang sangat kaya.
Simak Video: PPN Bakal Naik Jadi 12% Bikin Resah
Lanjut ke halaman berikutnya