Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia ke China sebesar US$60,22 miliar, 24,20% dari total ekspor non-migas Indonesia, dengan komoditas terbesar besi dan baja senilai US$ 16,07 miliar. China jadi salah satu negara pendiri Bricks dengan tujuan ekspor terbesar Indonesia.
Meski begitu, China sebagai mitra dagang utama Indonesia lebih banyak ekspor ke Indonesia, meski ekspor Indonesia ke China nilainya besar. Indonesia tak mampu mempertahankan surplus dengan China. Sebagai catatan, Indonesia mampu membukukan surplus pada 2023 untuk pertama kalinya sejak 2007 atau 15 tahun. Untuk diketahui, neraca perdagangan Indonesia dengan China terpantau defisit US$ 8.970 juta.
Ekspor Indonesia ke China melambung tinggi pada 2022, 2023, dan 2024 yang masing-masing tercatat sebesar US$ 65.839 juta, US$ 64.834 juta, dan US$ 62.439 juta. Indonesia sangat bergantung ke China dalam hal ekspor barang. Barang yang diekspor Indonesia ke China terdiri dari besi dan baja senilai US$ 16,07 miliar sepanjang 2024, bahan bakar mineral US$ 13,89 miliar, dan nikel serta barang daripadanya US$ 6,26 miliar.
Meski meningkat tajam dalam aspek ekonomi, khususnya sejak satu dekade yang lalu, hubungan Indonesia dan China dinilai oleh pengamat sebagai pedang bermata dua. Pada satu sisi China memperlihatkan sikap mempesonanya terhadap Indonesia, di sisi lain, China bisa sewaktu-waktu berubah menjadi kekuatan yang mengancam.
Terlebih hubungan Indonesia-China juga masih diwarnai dengan hadirnya pandangan negatif, kecurigaan, kehati-hatian, dan kekhawatiran di kalangan sebagian kelompok elite dan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap tujuan dari negara tersebut.
Pandangan di atas mengemuka dalam seminar berjudul "Dancing with the Dragon? Indonesian and Malaysian Policies toward China," yang diselenggarakan Forum Sinologi Indonesia (FSI), Paramadina Public Policy Institute (PPPI), dan sebuah think tank asal Malaysia, Bait Al Amanah di Universitas Paramadina, Jalan Rasuna Said, Jakarta.
Seminar tersebut dihadiri oleh ahli Hubungan Internasional asal Malaysia, Profesor Cheng-Chwee Kuik dan Managing Director PPPI Universitas Paramadina Jakarta, Ahmad Khoirul Umam.
Ketua FSI Johanes Herlijanto, yang juga pada dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UPH berpandangan Indonesia bukan hanya telah menjaga jarak yang sama dalam hubungannya dengan China dan kekuatan-kekuatan lainnya, termasuk dengan negara-negara Barat, tetapi juga telah memperlihatkan kemampuan dan kesiapan untuk bertindak tegas bila China atau negara manapun melakukan tindakan yang berpotensi melanggar kedaulatan Indonesia.
Tindakan tegas unsur Bakamla Indonesia terhadap unsur Penjaga Pantai China yang menerobos masuk Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia pada November 2024 yang lalu adalah salah satu contoh yang jelas. Lalu penggantian drone buatan China dengan drone buatan Turki untuk menjaga wilayah Indonesia di Kepulauan Natuna dinilai sebagai sebuah langkah yang tepat yang memperlihatkan upaya Indonesia menjaga dan mempertahankan kedaulatannya di tengah meningkatnya sikap asertif dan agresif China di Laut China Selatan.
Johanes juga berpandangan bahwa sama seperti Indonesia, Malaysia pun memperlihatkan kesiapannya untuk melakukan tindakan tegas terhadap negara mana pun yang melanggar kedaulatannya.
(fdl/fdl)