Trump Tarik AS dari Perjanjian Iklim Paris, Minyak Jadi Raja

Trump Tarik AS dari Perjanjian Iklim Paris, Minyak Jadi Raja

Anisa Indraini - detikFinance
Selasa, 21 Jan 2025 12:41 WIB
President-elect Donald Trump takes the oath of office during the 60th Presidential Inauguration in the Rotunda of the U.S. Capitol in Washington, Monday, Jan. 20, 2025. (Kevin Lamarque/Pool Photo via AP)
Foto: AP/Kevin Lamarque
Jakarta -

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump baru dilantik dan dia langsung menandatangani perintah untuk menarik AS keluar dari perjanjian iklim Paris. Padahal itu merupakan upaya global untuk memerangi pemanasan global di seluruh dunia.

"Saya segera menarik diri dari perjanjian iklim Paris yang tidak adil dan sepihak," kata Trump sebelum menandatangani perintah tersebut sebagaimana dilansir dari Reuters, Selasa (21/1/2025).

Sebelumnya, Trump juga sempat menarik AS dari Kesepakatan Paris pada 2017 saat masa jabatan pertamanya. Hal itu segera dibatalkan oleh kepresidenan Joe Biden pada 2021 dan AS bergabung kembali.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di periode keduanya, Trump berjanji untuk menambah penambangan minyak mentah, termasuk dengan cara fracking atau teknik stimulasi hidrolik yang berongkos lingkungan tinggi. Tidak heran, jika pemerintahannya menarik diri dari Perjanjian Iklim lagi demi membuka jalan bagi penambangan baru.

Dikutip dari Reuters, Amerika Serikat (AS) per 2024 masih menjadi salah satu negara penghasil minyak terbesar di dunia. Dari data Energy Information Administration (EIA) produksi minyak AS rata-rata 12,9 miliar barel per hari. Pada 2023 produksi minyak AS tercatat 12,3 miliar barel per hari.

ADVERTISEMENT

Trump menandatangani surat penarikan AS keluar dari perjanjian iklim Paris dan surat tersebut ditujukan kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

"Pemberitahuan tersebut harus disampaikan kepada Sekretaris Jenderal PBB sebagai Penanggung Jawab Perjanjian," tulis perintah tersebut.

Ditariknya AS dari perjanjian tersebut membuat Negeri Paman Sam bersama dengan Iran, Libya dan Yaman sebagai negara-negara tersisa di dunia yang tidak meratifikasi Perjanjian Paris. Perjanjian itu bertujuan untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2,7 derajat Fahrenheit (1,5 derajat Celsius) di atas tingkat pra-industri.

(aid/kil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads