Joint Statement RI-China, Dua Hal Ini Perlu Diperhatikan

Joint Statement RI-China, Dua Hal Ini Perlu Diperhatikan

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Jumat, 24 Jan 2025 13:08 WIB
Bakamla RI melalui unsur Kapal Negara (KN) Tanjung Datu-301, mengusir kapal China Coast Guard (CCG) 5402 dari Laut Natuna Utara. Kapal China Coast Guard diusir dari wilayah yurisdiksi Indonesia, Senin (21/10/2024).
Foto: (Dok. Bakamla)
Jakarta -

Meski menuai pro dan kontra, langkah Indonesia merilis pernyataan bersama dengan China dalam kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing November 2024 lalu dinilai sebagai langkah yang dapat dipahami. Selama Indonesia tetap tegas berpegang pada hukum laut internasional, yaitu United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

Pandangan ini muncul dan memperoleh penekanan dalam diskusi berjudul Hubungan Indonesia-China Pasca Joint Statement: Perspektif Diplomasi dan Keamanan, yang diselenggarakan oleh Indonesian Maritime Security Initiative (Indomasive), sebuah organisasi yang secara khusus mempelajari dan mendalami mengenai keamanan laut di Indonesia.

Diskusi yang dimoderatori oleh pemerhati Cina asal Universitas Presiden Muhammad Farid tersebut dihadiri oleh dekan Fakultas Keamanan Nasional (FKN) Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI), Mayjen TNI Puji Widodo, serta Ketua Program Studi Keamanan Maritim UnHan RI, Kolonel Laut Dr. Panji Suwarno. Hadir pula dalam acara tersebut Johanes Herlijanto, ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam pemaparannya, Pujo Widodo menjelaskan situasi geopolitik yang dihadapi Indonesia pada tahun 2025 dan tahun tahun mendatang, antara lain meningkatnya kompetisi strategis antara Cina dan Amerika Serikat (AS) serta potensi penyerbuan Cina ke Taiwan.

Menurutnya, hal itu mengakibatkan berkembangnya resiko keamanan dan ketegangan militer di Kawasan. Meski demikian, Widodo mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia yang dengan piawai menavigasi hubungan Indonesia antara Barat dan Cina.

ADVERTISEMENT

"Indonesia bersedia melakukan latihan militer dengan AS dan negara-negara lainnya, tetapi juga siap menjajagi kerja sama ekonomi dengan Cina," tuturnya.

Meski demikian, ia mengingatkan masih terdapatnya kecurigaan di kalangan Indonesia terhadap potensi pencaplokan wilayah Indonesia yang kaya akan migas oleh Cina.

Menurutnya, Indonesia tetap berupaya mencegah dominasi Cina di Asia Tenggara, antara lain dengan mengajak negara-negara Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk bersatu menghadapi Cina.

Dalam pandangannya, Indonesia perlu melakukan berbagai langkah pencegahan, antara lain, dengan melakukan penebalan kekuatan, khususnya TNI Angkatan Laut di wilayah wilayah yang rawan ancaman.

Sementara itu, Panji Suwarno menyampaikan bahwa dampak dari hadirnya joint statement Indonesia China yang jelas terlihat adalah peningkatan kerja sama dan hubungan diplomatik antara kedua negara.

Namun demikian, Kolonel Panji meminta Indonesia untuk berhati-hati bila Cina memanfaatkan munculnya joint statement di atas untuk kepentingan Cina semata.

"Kita perlu waspada bila Cina memanfaatkan momen ini untuk membangun opini seolah olah Indonesia pro-Cina," tegas Panji.

Oleh karenanya, Indonesia harus melakukan langkah yang tepat, antara lain meningkatkan kekuatan pertahanan dan keamanan laut, serta menjaga peran sebagai pihak yang netral dalam rivalitas yang melibatkan Cina. Dalam hal klaim Cina terhadap sebagian Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara (LNU), selain netralitas di atas, Panji berpandangan bahwa Indonesia harus tetap tegas berpegang pada UNCLOS.

"Tindakan pemerintah Indonesia melakukan joint statement tidak menjadi sebuah persialan selama Indonesia tetap tegas berpegang kuat pada UNCLOS 1982. Namun, setiao resiko yang mungkin terjadi setelah Joint Statement perlu diantisipasi dengan bijak agar jangan sampai membuat Indonesia kehilangan posisi dan netralitas di ASEAN, dan menurutkan tingkat keamanan serta pertahanan di perairan LNU," pungkasnya.

Kolonel Panji juga menekankan pentingnya Indonesia memopulerkan nama Laut Natuna Utara sebagai bagian dari upaya mempertahankan hak berdaulat Indonesia di perairatan tersebut.

Hal senada juga disampaikan oleh direktur Indomasive, Fauzan Aminullah dalam sambutan pembukaan seminar di atas. Ia menekankan pula pentingnya Indonesia berpegang teguh pada UNCLOS dan tetap tidak mengakui klaim China atas ZEE Indonesia di perairan LNU, untuk menghindari celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak Cina dalam meningkatkan aktivitas ilegalnya di perairan LNU tersebut.

Penekanan pada pentingnya berpegang pada UNCLOS dan pentingnya menjaga netralitas juga disampaikan oleh Johanes Herlijanto, ketua FSI yang juga dosen Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan itu.

Johanes juga menekankan pentingnya memahami istilah kedaulatan bukan hanya sebagai istilah yang merujuk pada batas wilayah teritori semata, tetapi secara lebih luas menyangkut hak berdaulat, bahkan kemandirian bangsa.


Hide Ads