Harga minyak goreng di Indonesia terus menunjukkan lonjakan signifikan, terutama menjelang bulan Ramadan. Kenaikan harga yang terus-menerus terjadi dalam beberapa tahun terakhir telah menambah beban hidup masyarakat, baik dari segi pengeluaran rumah tangga maupun biaya operasional usaha, khususnya bagi pelaku usaha kuliner.
Fenomena ini telah membuat rakyat semakin terbebani. Harga minyak goreng di pasar tradisional maupun minimarket pun kini semakin sulit dijangkau. Lonjakan harga ini terjadi seiring dengan naiknya harga minyak sawit di dalam negeri, yang dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi global dan domestik.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Freesca Syafitri, menekankan bahwa di tengah semakin menurunnya daya beli masyarakat akibat kondisi ekonomi yang sulit, rakyat berhak mendapatkan minyak goreng dengan harga yang terjangkau melalui program MinyaKita.
Menurut Freesca, pemerintah memiliki kemampuan untuk menurunkan kembali Harga Eceran Tertinggi (HET) MinyaKita ke angka Rp14.000 per liter, namun hal ini membutuhkan kebijakan intervensi yang lebih kuat, seperti subsidi tambahan, penguatan mekanisme Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO), serta insentif fiskal untuk menekan biaya produksi.
Baca juga: Kemendag Evaluasi HET Minyakita, Bakal Naik? |
"Secara teori, pemerintah memiliki kemampuan untuk menurunkan HET MinyaKita, tetapi langkah ini harus diiringi dengan kebijakan yang lebih komprehensif, termasuk pengawasan ketat pada distribusi dan pengendalian harga," kata Freesca di Jakarta Kamis (20/3/2025).
Namun, dia menambahkan bahwa jika kebijakan ini tidak diimbangi dengan reformasi dalam tata kelola distribusi yang lebih efisien dan transparan, risiko kelangkaan dan spekulasi harga akan tetap tinggi. Oleh karena itu, Freesca menegaskan bahwa kebijakan harga minyak goreng harus sangat hati-hati dan mempertimbangkan keseimbangan antara daya beli masyarakat, keberlanjutan industri, serta stabilitas fiskal negara.
Freesca juga mencermati dominasi segelintir perusahaan besar dalam industri minyak sawit dan minyak goreng di Indonesia. Struktur pasar oligopoli ini memungkinkan perusahaan besar untuk memanipulasi harga, sementara petani kecil sering terpinggirkan dengan harga jual yang rendah.
"Fokus ekspor yang lebih menguntungkan bagi korporasi sering kali mengorbankan pasokan domestik, yang menyebabkan kelangkaan dan lonjakan harga di pasar domestik. Regulasi yang lemah memperkuat praktik kartel dan monopoli, sehingga perusahaan besar bisa menghindari sanksi meskipun terbukti mengendalikan harga," tambahnya.
Freesca menggarisbawahi bahwa reformasi industri minyak sawit harus segera dilakukan. Regulasinya harus lebih ketat untuk membatasi dominasi korporasi besar, meningkatkan transparansi rantai pasok, serta memberikan insentif bagi petani kecil agar mereka bisa mendapatkan harga yang lebih adil.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Iqbal Shoffan Shofwan menjelaskan bahwa ada sejumlah alasan di balik lonjakan harga MinyaKita di pasaran, salah satunya adalah praktik curang yang dilakukan oleh distributor dan perusahaan pengemasan (repacker) yang mengurangi volume produk.
Menurut Iqbal, salah satu penyebab utama adalah keterbatasan akses terhadap minyak goreng melalui mekanisme Domestic Market Obligation (DMO), yang menyebabkan repacker tidak bisa mendapatkan pasokan minyak sesuai ketentuan. Hal ini, kata Iqbal, menyebabkan beberapa repacker terpaksa mencari cara lain untuk tetap memproduksi dan mendistribusikan MinyaKita, termasuk dengan mengurangi volume atau menggunakan minyak dari pasokan komersial.
"Mengapa mereka tidak mendapatkan minyak DMO? Karena ini kan tergantung pada kesepakatan antara produsen dan repacker, yang sepenuhnya bersifat komersial. Ini adalah mekanisme bisnis ke bisnis (B2B), dan tidak semua repacker bisa memperoleh pasokan minyak DMO," jelas Iqbal dalam keterangannya, Kamis (20/3/2025).
Sebagai informasi, penggunaan minyak komersial dalam produk MinyaKita menyebabkan harga di pasar melonjak hingga Rp17.000-Rp18.000 per liter, jauh di atas HET yang ditetapkan sebesar Rp15.700 per liter.
Terkait kemungkinan kenaikan HET MinyaKita, Iqbal memastikan bahwa keputusan tersebut masih dalam tahap evaluasi. Proses penetapan HET tidak hanya melibatkan Kemendag, tetapi juga berbagai pihak terkait, termasuk produsen, distributor, dan repacker.
Meski harga bahan baku minyak goreng mengalami kenaikan, Iqbal menambahkan bahwa produsen MinyaKita sejauh ini masih bersedia menanggung selisih biaya yang timbul akibat kebijakan DMO. Oleh karena itu, menurutnya, secara prinsipil tidak ada masalah dengan harga produksi MinyaKita.
"Kesepakatannya sejak awal, produsen sudah siap menanggung selisih harga tersebut. Karena memang DMO ini diwajibkan bagi mereka dalam konteks ekspornya. Itu sudah dipahami oleh produsen, jadi tidak ada masalah dengan selisih harga yang timbul," ujar Iqbal.
Dengan adanya kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian ini, penting bagi pemerintah untuk melanjutkan program DMO MinyaKita agar minyak goreng tetap terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok berpendapatan rendah.
Simak juga Video: Tersangka Pengurangan Isi Minyakita Raup Rp 800 Juta Tiap Bulan
(rrd/rir)