Setop Beroperasi Selama Mudik Lebaran, Pengusaha Truk Bisa Rugi Rp 5 T

Setop Beroperasi Selama Mudik Lebaran, Pengusaha Truk Bisa Rugi Rp 5 T

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Jumat, 21 Mar 2025 13:31 WIB
Kendaraan truk melintasi Tol Jakarta Cikampek KM 12 Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (26/3/2024).
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Kebijakan pelarangan operasional truk bersumbu tiga selama 16 hari selama periode Lebaran 2025 diprediksi akan memberikan dampak besar terhadap sektor logistik nasional. Pengusaha truk mengungkapkan bahwa kebijakan ini bisa mengakibatkan kerugian hingga Rp 5 triliun, serta berdampak buruk pada rantai pasokan dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Gemilang Tarigan, menyebutkan bahwa larangan ini merupakan yang terpanjang dalam sejarah, dan berdampak langsung pada kelancaran logistik nasional.

"Dulu kebijakan hanya 2 hari sebelum dan sesudah Lebaran, kini sudah 16 hari. Ini sangat merugikan banyak pihak dan dapat mengganggu perekonomian kita," ujar Gemilang, dalam keterangannya, Jumat (21/3/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gemilang menilai truk merupakan tulang punggung logistik Indonesia yang mendukung berbagai sektor industri. Sementara itu, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 8%, namun di sisi lain justru membatasi sektor logistik yang menjadi penunjang utama. "Ini sebuah keputusan yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan kementerian terkait," tambahnya.

Pelarangan operasional truk diperkirakan akan mengakibatkan pengusaha truk logistik tidak mendapatkan pemasukan selama 16 hari. Dampaknya juga akan meluas hingga ke pelabuhan, di mana pekerja pelabuhan terpaksa tidak bekerja, dan kapal-kapal yang datang dari luar negeri tidak dapat membongkar muatannya. "Bahkan, jika stagnasi ini terjadi, kapal-kapal luar negeri bisa kembali dengan kontainer kosong karena tidak ada barang yang akan dimuat," kata Gemilang.

ADVERTISEMENT

Industri pengolahan dalam negeri pun diperkirakan akan kesulitan mendapatkan bahan baku, karena 60% bahan baku industri Indonesia masih mengandalkan impor. Dengan kawasan industri yang sebagian besar berada di Jawa Barat, dampaknya akan lebih terasa di daerah ini. "Akibat dari kebijakan ini, industri akan berhenti berproduksi, buruh pun tak bekerja. Ini sangat merugikan," tambah Gemilang.

Selain itu, biaya demurrage atau biaya keterlambatan waktu berlabuh kapal akan semakin tinggi. Pengusaha juga harus menanggung biaya tambahan akibat penumpukan barang di pelabuhan, yang diperkirakan bisa menambah kerugian hingga Rp 5 triliun. "Biaya demurrage ini dihitung per hari dengan dolar AS. Untuk kontainer ukuran 20 feet, biaya sewa per harinya bisa mencapai US$ 20.000, dan ini akan terus bertambah," jelas Gemilang.

Menurut Ketua Asosiasi Depo Kontainer Indonesia (Asdeki), Mustafa Kamal Hamka, lebih dari 300.000 kontainer yang biasa diproses setiap bulannya akan terhambat selama periode larangan ini. "Dampaknya bukan hanya pada angkutan darat, tapi juga pada pelabuhan, shipping line, importir, dan semua pihak terkait logistik lainnya," katanya.

Kondisi ini juga bisa memperburuk tujuan pemerintah untuk menurunkan biaya logistik Indonesia. "Jika logistik kita terganggu, biaya logistik tidak akan bisa diturunkan sesuai dengan target pemerintah. Hal ini akan membuat investasi asing yang masuk semakin berkurang," ujar Hamka. Dia menambahkan bahwa kebijakan tersebut berpotensi mengurangi kepercayaan internasional terhadap perdagangan Indonesia.

Dengan berbagai dampak yang ditimbulkan, pelaku industri logistik meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan pelarangan ini, agar tidak merugikan banyak pihak yang bergantung pada kelancaran operasional logistik di Indonesia.

Lihat juga Video: Rombongan Truk Jumbo Terjebak Tak Bisa Keluar di Tol Klaten

(rrd/rrd)

Hide Ads