Lebih dari 90% bahan baku obat di Indonesia masih didatangkan dari luar negeri. Di tengah ketergantungan tinggi itu, langkah PT Bio Farma (Persero) memproduksi radiofarmaka lokal dinilai sebagai upaya strategis untuk mengurangi dominasi impor di sektor kesehatan.
PT Bio Farma (Persero), induk Holding BUMN Farmasi Indonesia, resmi mendapatkan Nomor Izin Edar (NIE) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk produk radiofarmaka 18-F Fluorodeoxyglucose (FDG) dengan merek dagang FloDeg. Produk ini merupakan komponen penting dalam diagnostik kanker berbasis PET-Scan dan menjadi yang pertama di Indonesia yang memperoleh izin edar resmi.
NIE diserahkan langsung oleh Kepala BPOM Taruna Ikrar kepada Direktur Pengembangan Usaha Bio Farma, Yuliana Indriati, dalam acara Asistensi Regulatori Terpadu wilayah DKI Jakarta, Banten, dan Sumatera.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Taruna mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi tiga tantangan besar di sektor kesehatan: kemunculan penyakit baru, ketergantungan tinggi pada bahan baku obat impor, dan perkembangan teknologi yang menuntut peningkatan kualitas SDM.
"Lebih dari 90% bahan baku obat kita masih impor, artinya kita sangat bergantung pada negara lain. BPOM mendorong semua pihak untuk secara bertahap menurunkan angka ini sampai minimal 50%," ungkap Taruna, dalam keterangan tertulis Bio Farma, Rabu (21/5/2025).
Ia juga menyoroti pentingnya pengembangan produk inovatif seperti radiofarmaka dalam menghadapi penyakit kronis seperti kanker. Produk semacam ini diyakini bisa mempercepat diagnosis dan memperluas akses terapi modern bagi pasien di Indonesia.
Bio Farma menyambut baik penerbitan izin ini sebagai tonggak penting dalam transformasinya menjadi pemain utama industri farmasi berteknologi tinggi. Menurut Yuliana, dengan adanya izin ini, Bio Farma kini dapat memproduksi dan mendistribusikan FDG secara nasional dari fasilitas produksinya di Cikarang, yang telah memenuhi standar CPOB dan keselamatan radiasi dari BAPETEN.
FloDeg menjadi simbol awal dari upaya Indonesia untuk mandiri dalam produksi radiofarmaka, yang selama ini sepenuhnya diimpor. Bio Farma bahkan telah menyiapkan sistem pemesanan berbasis digital melalui platform Ordering Management System (OMS) untuk mendukung distribusi ke rumah sakit rujukan dan fasilitas onkologi di berbagai daerah.
"Kami ingin memastikan bahwa layanan deteksi dan penanganan kanker bisa diakses secara merata, tidak hanya terpusat di kota besar," kata Yuliana.
(rrd/rir)