Fenomena membludaknya antrean pelamar kerja belakangan mendapat sorotan publik. Kondisi ini seolah menggambarkan sinyal-sinyal bahwa tenaga kerja Indonesia tengah dilanda krisis.
Walau demikian, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan bahwa fenomena tersebut harus dilihat dengan lensa yang jernih dan komprehensif.
"Ini bukan semata-mata sinyal 'darurat tenaga kerja', tetapi sebuah cerminan adanya mismatch struktural di pasar tenaga kerja kita, yang jika tidak segera diintervensi secara tepat, berpotensi menekan daya saing nasional dalam jangka panjang," kata Shinta, kepada detikcom, Rabu (16/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: RI Darurat Lapangan Kerja? |
Shinta mengatakan, dunia usaha pada prinsipnya memiliki komitmen untuk menyerap tenaga kerja seluas-luasnya. Namun demikian, realitas di lapangan menunjukkan adanya beberapa faktor krusial yang menimbulkan gap antara supply dan demand tenaga kerja.
Pertama, RI sedang menghadapi fase yang kompleks, terutama di industri padat karya akibat dinamika geopolitik dan perlambatan global, pelemahan konsumsi di level domestik yang menekan permintaan produk manufaktur, hingga biaya berusaha yang tinggi.
Indeks PMI Manufaktur Indonesia bulan Juni 2025 tercatat turun menjadi 46,9. Hal ini menandakan kontraksi sudah terjadi selama tiga bulan, mencerminkan industri yang semakin tertekan.
Kedua, akselerasi transformasi digital, otomasi, hingga teknologi artificial intelligence (AI) juga berkontribusi pada job displacement di level tertentu. Shinta juga melihat, penanaman modal semakin didominasi oleh investasi padat modal yang secara alamiah menyerap jumlah tenaga kerja yang lebih terbatas.
Ini tercermin pada kecenderungan penurunan daya serap tenaga kerja. Shinta mencontohkan, bila tahun 2013 investasi Rp 1 triliun mampu menyerap lebih dari 4.500 tenaga kerja, sekarang di kuartal I 2025 hanya mampu menyerap 1.277 orang. Artinya, jenis pekerjaan konvensional yang dulunya padat karya, kini mulai berkurang.
"Tantangannya adalah bagaimana kita menyiapkan talenta yang upskilled dan reskilled agar dapat bermigrasi ke sektor-sektor baru yang lebih produktif dan sesuai dengan kebutuhan industri masa depan," ujarnya.
Ketiga, 'regulatory bottleneck' yang masih harus dibenahi bersama. Menurutnya, dunia usaha memerlukan iklim investasi yang benar-benar enabling dan pro-growth, agar ekspansi usaha dapat tercipta, dan memberikan multiplier effect pada penciptaan lapangan kerja baru.
"Jadi jika ditanya, apakah kondisi ini 'darurat'? kami lebih menyebutnya sebagai 'wake-up call'. Ini sinyal keras bahwa kita harus melakukan reformasi struktural di pasar kerja, menata ekosistem investasi, dan mendorong peningkatan employability tenaga kerja kita," kata Shinta.
APINDO menyatakan dukungan penuh langkah konkret untuk memastikan sinergi kebijakan di lapangan berjalan efektif, dan akan terus berkomitmen mendukung agenda penciptaan lapangan kerja dengan semangat 'Indonesia Incorporated'. Prinsipnya, semua pihak harus bergerak bersama dan tidak bisa berjalan parsial.
"Jangan lupakan juga, Indonesia memiliki potensi demographic dividend. Ini harus dikapitalisasi, dan bukan malah menjadi beban. Energi produktif anak bangsa juga harus diarahkan ke sektor-sektor strategis, green economy, digital economy, hingga industri hilirisasi yang padat nilai tambah. Mari kita jadikan fenomena ini sebagai trigger untuk segera bertransformasi," ujar dia.
Lihat juga Video: Lapangan Kerja Jadi Rapor Merah Prabowo-Gibran Menurut LSI Denny Ja