DPR Sentil Starlink soal Frekuensi Tambahan

DPR Sentil Starlink soal Frekuensi Tambahan

Andi Hidayat - detikFinance
Minggu, 20 Jul 2025 12:14 WIB
Starlink Mini
Foto: Adi Fida Rahman/detikINET
Jakarta -

Starlink kembali bikin heboh. Setelah sempat menutup layanan internet di Indonesia, perusahaan milik Elon Musk itu kini disebut tengah meminta tambahan kapasitas jaringan pita frekuensi E-band ke Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).

Dua anggota Komisi I DPR RI dari fraksi berbeda, Nico Siahaan (PDIP) dan Abraham Sridjaja (Golkar), kompak mengingatkan pemerintah agar tidak gegabah dalam merespons permintaan tersebut.

Nico menilai permintaan Starlink justru menunjukkan bahwa layanan mereka tidak siap. Ia mengingatkan bahwa pemerintah perlu mengevaluasi secara menyeluruh komitmen awal Starlink yang hingga kini dinilai belum terealisasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Starlink waktu masuk janji internet gratis di daerah 3T, bantu puskesmas, bahkan investasi Tesla. Tapi mana buktinya? Belum terlihat nyata. Sekarang malah minta tambah frekuensi," ujar Nico di Jakarta, Minggu (20/7/2025).

Ia juga menyoroti aspek kedaulatan digital yang jadi taruhannya. Nico menyebut Starlink tak memiliki infrastruktur nasional yang memadai, sehingga menyulitkan proses lawful intercept.

ADVERTISEMENT

"Kalau mereka nggak punya infrastruktur dalam negeri, bagaimana kita bisa pastikan keamanan data dan komunikasi? Ini bukan sekadar soal bandwidth, tapi juga kedaulatan negara," tegasnya.

Senada dengan Nico, Abraham Sridjaja dari Fraksi Golkar mengingatkan agar pemerintah tak hanya jadi "penjual frekuensi". Menurutnya, pemberian tambahan spektrum harus dibarengi dengan kontribusi nyata bagi negara.

"Komitmen investasi Starlink harus jelas. Jangan hanya datang, minta frekuensi, lalu pergi. Bangun pusat data, transfer teknologi, buka lapangan kerja. Itu baru investasi sesungguhnya," kata Abraham.

Abraham juga mendorong Komdigi untuk tidak pasif dalam menghadapi kepentingan asing. Ia meminta pemerintah meniru langkah Inggris yang membuka konsultasi publik sebelum menyetujui penggunaan frekuensi strategis oleh operator global.

"Yang dilakukan Ofcom di Inggris patut jadi contoh. Libatkan publik, akademisi, dan industri sebelum buat keputusan. Kalau tidak, kita hanya jadi pasar tanpa kedaulatan," ujarnya.

(rrd/rrd)

Hide Ads