Pemerintah telah meluncurkan 80.081 Koperasi Desa dan Kelurahan (KDMP/KKMP) di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Senin lalu. Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengungkapkan program ini sebagai langkah strategis untuk memperkuat ekonomi kerakyatan hingga ke tingkat desa.
Misbakhun menambahkan bahwa keberhasilan program ini bergantung pada pengelolaan pendanaan yang jelas, regulasi yang kuat, dan mitigasi risiko kebocoran dana agar dampaknya efektif, berkelanjutan, dan tepat sasaran.
"Namun, dengan skala sebesar 80.081 koperasi yang melibatkan dana publik besar, pemerintah harus memastikan program ini berjalan dengan tata kelola yang baik," ujar Misbakhun dalam keterangannya ditulis Selasa (22/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Misbakhun menyoroti pentingnya skema pendanaan yang matang dan berkelanjutan. Inpres no. 9/2025 menyebutkan empat sumber pendanaan awal untuk Koperasi Merah Putih, yaitu APBN, APBD, Dana Desa, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Terkait hal ini, ia menyarankan pendanaan lanjutan melalui sinergi dengan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB), Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus koperasi, serta keterlibatan BUMN dan swasta melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
"Koperasi ini harus didukung ekosistem finansial yang memungkinkan mereka tumbuh mandiri, bukan hanya hidup sesaat karena suntikan modal awal," tambahnya.
Bahkan, lanjutnya, setiap koperasi dapat mengakses plafon pinjaman modal awal hingga Rp3miliar dengan tenor 6 tahun dan suku bunga sekitar 6% per tahun.
"Dana ini bukan hibah, melainkan kredit dari perbankan yang harus dikembalikan, sehingga koperasi wajib menyiapkan proposal usaha yang solid dan mekanisme pengelolaan keuangan yang transparan," jelas dia
Selain pendanaan, Misbakhun mendorong penguatan payung hukum melalui Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden khusus untuk KDMP/KKMP. Regulasi ini perlu mencakup standar operasional, model bisnis, akuntabilitas dan transparansi pelaporan keuangan, dan kompetensi SDM minimal. Ia juga menekankan perlunya pengaturan sinergi dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) agar saling memperkuat, bukan tumpang tindih, dalam ekosistem ekonomi desa.
Di samping itu, Misbakhun memperingatkan terkait resiko kebocoran dana, seperi salah alokasi, atau pembentukan koperasi fiktif akibat skala program yang masif. Ia mengusulkan sistem pengawasan digital terpusat untuk memantau transaksi dan kesehatan koperasi secara real-time.
Selain itu, SDM pendamping dan pelatih juga perlu disiapkan Pemerintah untuk turut mengawal keberlangsungan koperasi. Terkait hal ini, Misbakhun menyarankan OJK agar berperan memberi pendampingan manajemen risiko dan audit internal.
"Pengawasan ini harus melibatkan aparat pengawas internal pemerintah, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk audit eksternal, serta kerja sama proaktif dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung untuk pencegahan dan penindakan. Selain itu, partisipasi masyarakat desa dan media lokal juga perlu didorong untuk mengawasi jalannya koperasi," pungkasnya.
Dengan pengelolaan yang cermat, ia optimistis program ini dapat menjadi fondasi kokoh bagi perekonomian desa dan kesejahteraan masyarakat. "Kebocoran dana, sekecil apa pun, adalah pengkhianatan terhadap rakyat. Sistem pencegahan dan penindakan harus dibangun sekuat mungkin sejak awal," ujar Misbakhun.
(kil/kil)