Saya ingin memulai tulisan ini dengan menyimak kembali peringatan dua ekonom, yaitu Acemoglu dari MIT dan Robinson dari Universitas Harvard dalam bukunya berjudul: "Why Nations Fail: The Origin of Power, Prosperity and Poverty" bahwa permasalahan negara miskin bukan karena faktor geografi atau budaya, tetapi karena sistem ekonominya bersifat ekstraktif, menghisap dan eksploitatif.
Hal ini sejalan dengan peringatan Presiden Prabowo pada penutupan kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Solo, Jawa Tengah, 20 Juli 2025 yang mengintrodusir istilah serakahnomics, yaitu praktik bisnis yang eksploitatif dan menghisap pelaku usaha kecil serta masyarakat secara keseluruhan.
Praktik serakahnomics merupakan pelanggaran berat dalam antitrust atau anti-monopoly law. Serakahnomics dikategorikan sebagai abused of market power, abused of bargaining power, unfair business practices, merger and acquisition yang bertujuan memonopoli perekonomian untuk mengeksploitasi konsumen dengan harga tidak wajar.
Praktik Serakahnomics
Serakahnomics bertentangan dengan sistem ekonomi pasar yang pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith. Di mana, sistem ekonomi pasar didesain untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi secara efisien dan berkeadilan kepada setiap orang.
Efisiensi ekonomi dicapai melalui peran invisible hand yang didukung penegakan hukum yang adil. Sementara, aspek keadilan dicapai melalui instrumen perpajakan untuk mentransfer sumber daya ekonomi dari kelompok kaya ke miskin.
Impian Adam Smith jauh dari kenyataan. Ekonomi pasar dan invisible hand tidak bekerja dengan baik. Perekonomian terpusat pada oligopolis (segelintir pelaku usaha) yang menggunakan market power secara salah (abused of market power), menetapkan harga pembelian sangat rendah dari produsen kecil (petani) dan harga jual barang sangat tinggi kepada konsumen.
Tidak hanya itu, para monopolis dan oligopolis yang menguasai perekonomian ketika berhubungan dengan pelaku usaha kecil dalam konteks kemitraan usaha juga menyalahgunakan kekuatannya (abused of bargaining power). Kemitraan eksploitatif dan menghisap dalam bentuk bagi hasil yang tidak adil dan pembelian produk mitra usaha kecil pada harga yang tidak wajar.
Bahkan banyak pelaku usaha melakukan kecurangan dalam produksi dan melawan hukum (unfair business practices) yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. Salah satu contohnya, beras oplosan, kecurangan menetapkan timbangan, pelanggaran aturan Standar Nasional Indoensia (SNI), pelanggaran aturan pengangkutan barang, dan bahkan secara sengaja melanggar aturan mutu produk.
Praktik yang banyak terjadi dalam perekonomian nasional adalah pengambilalihan saham dan penggabungan (merger and acquisition) yang bertujuan untuk mematikan pesaing sehingga menjadi perusahaan monopoli di pasar. Sebagai perusahaan dominan, baik sendiri-sendiri maupun berkelompok dapat mengeksploitasi konsumen dengan harga jual yang sangat eksesif.
Praktik yang dianggap lumrah tetapi melanggar hukum adalah cross ownership (kepemilikan silang) dan jabatan rangkap sebagai direksi atau komisaris dalam beberapa perusahaan dalam usaha sejenis. Praktik ini menyebabkan dominasi dalam perekonomian yang dapat mengarah pada eksploitasi konsumen dengan harga tinggi.
Praktik serakahnomics dalam perekonomian nasional sangat akut karena banyak kasus persekongkolan yang melibatkan pengambil kebijakan (public cartel). Dimana, unsur persekongkolan ditemukan dalam kebijakan yang secara sengaja memfasilitasi pelaku usaha tertentu (persekongkolan vertikal). Modusnya, menetapkan spesifikasi proyek yang diarahkan pada produk atau pelaku usaha tertentu.
(ang/ang)