Capek Dikejar Target, Kaum Muda Pilih Jalani Hidup Pelan-pelan

Capek Dikejar Target, Kaum Muda Pilih Jalani Hidup Pelan-pelan

Amanda Christabel - detikFinance
Minggu, 27 Jul 2025 09:00 WIB
Ilustrasi kerja di rumah
Foto: Getty Images/Keeproll
Jakarta -

Di tengah tekanan ekonomi dan ritme kehidupan yang serba cepat, sebagian anak muda mulai melirik konsep hidup slow living. Gaya hidup ini menawarkan pendekatan yang lebih tenang, tidak tergesa-gesa, dan cenderung menghindari konsumsi berlebihan.

Slow living dianggap sebagai alternatif dari budaya kerja keras berlebihan atau hustle culture, yang dalam jangka panjang dapat berdampak pada kesehatan mental. Konsep ini menekankan pentingnya kesederhanaan dan mempertimbangkan setiap keputusan secara matang. Tujuannya bukan hanya efisiensi, tapi juga keseimbangan hidup, baik secara pribadi maupun sosial.

Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menjelaskan gaya hidup slow living banyak diminati generasi milenial dan Gen Z. Menurutnya, dua generasi ini berupaya menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kesehatan mental.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi, tidak hanya mengejar ekonomi. Tetapi ada keseimbangan, misalnya kegiatan-kegiatan kesehatan mental sekadar ke kafe, atau ngopi, atau berkebun, atau lari pagi, dan sebagainya. Komunitas itu memang tumbuh seiring dengan perkembangan kebutuhan kota-kota besar yang demikian cepat tumbuhnya, tapi seperti kerja tidak ada habisnya," ujar Tauhid kepada detikcom, Sabtu kemarin.

Tauhid menilai, gaya hidup slow living belum banyak dijumpai di kota besar seperti Jakarta. Sebaliknya, konsep ini lebih mungkin diterapkan di kota-kota yang ritmenya lebih lambat dan memiliki tata kota yang mendukung.

ADVERTISEMENT

"Jakarta 'kan dengan kehidupan kota metropolitan dengan kemacetan, dengan kebutuhan hidup yang tinggi, lapangan pekerjaan terbatas, dan sebagainya. Orang berburu waktu, berburu uang. Sulit menerapkan kehidupan itu (slow living)," bebernya.

Beberapa kota seperti Yogyakarta, Malang, Banyuwangi, hingga Bandung disebut lebih memungkinkan bagi warganya untuk menjalani hidup yang lebih tenang, karena tekanan hidup yang relatif lebih rendah dan ruang terbuka yang lebih tersedia.

Menariknya, slow living juga bisa dipicu oleh tekanan ekonomi. Di tengah kebutuhan yang meningkat dan pendapatan yang tidak selalu mengikuti, sebagian masyarakat justru memilih hidup sederhana untuk menekan biaya.

"Slow living juga dimaknai untuk mengurangi konsumsi-konsumsi yang tidak perlu. Mengurangi kebutuhan atau gaya hidup yang terlalu tinggi," katanya.

Namun, Tauhid mengingatkan bahwa menjalani slow living di kota besar juga bisa menjadi tantangan tersendiri. Kegiatan yang diasosiasikan dengan gaya hidup ini, seperti bersantai di kafe atau mengikuti kelas kebugaran, tetap membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

"Slow living memang ada dua perspektif. Kalau tekanan ekonomi tinggi, dia bisa memanfaatkan slow living untuk mengurangi cost. Tapi slow living di kota besar biasanya membutuhkan biaya yang tinggi. Misalnya, mereka seringkali nongkrong di kafe itu kan butuh uang. Kemudian harus ke tempat gym, atau tempat olahraga yang tidak murah juga. Nah, itu yang di kota besar yang tidak disiapkan," tutupnya.

Simak juga Video: Bagaimana Cara Mengatasi Inflasi Gaya Hidup?

(fdl/fdl)

Hide Ads