Lagi Berjuang Lawan Resesi, Rusia Malah Dihantam Gempa-Tsunami

Lagi Berjuang Lawan Resesi, Rusia Malah Dihantam Gempa-Tsunami

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Kamis, 31 Jul 2025 06:40 WIB
Tsunami waves flood an area after a powerful magnitude 8.8 earthquake struck off Russias far eastern Kamchatka Peninsula, in Severo-Kurilsk, Sakhalin Region, Russia, July 30, 2025, in this still image taken from video.    Kamchatka branch of the Geophysical Survey of the Russian Academy of Sciences/Handout via REUTERS    THIS IMAGE HAS BEEN SUPPLIED BY A THIRD PARTY. NO RESALES. NO ARCHIVES. MANDATORY CREDIT
Lagi Berjuang Lawan Resesi, Rusia Dihantam Gempa-Tsunami/Foto: via REUTERS/Geophysical Survey of the Russia
Jakarta -

Bencana alam dahsyat menghantam Rusia saat negara itu tengah berjuang melawan ancaman resesi. Gempa bumi berkekuatan magnitudo (M) 8,8 melanda Semenanjung Kamchatka, Rusia. Setelahnya gelombang tsunami setinggi 3-4 meter ikut menyapu wilayah tersebut.

Tercatat, kota kecil Severo-Kurilsk di ujung selatan Semenanjung Kamchatka menjadi wilayah pertama yang diterjang gelombang tsunami imbas gempa dahsyat tersebut. Beberapa orang dilaporkan terluka ketika gelombang menyapu bangunan sekitar, termasuk sebuah pabrik pengolahan ikan.

Kantor berita milik pemerintah Rusia, TASS melaporkan setidaknya tiga gelombang tsunami telah melanda wilayah pesisir Severo-Kurilsk, di mana gelombang terakhir menjadi yang paling kuat. Kondisi ini membuat wilayah tersebut menjadi area paling terdampak bencana alam tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di balik kesusahan masyarakat imbas bencana alam tersebut, pemerintah Rusia saat ini juga tengah berjuang melawan kemerosotan ekonomi imbas pengenaan sanksi dari sejumlah negara di dunia.

ADVERTISEMENT

Mengutip BBC, sejak berperang melawan Ukraina pada 2022 lalu, Rusia menjadi negara yang paling banyak mendapat sanksi di dunia. Walau hingga 2024 kemarin sanksi yang diberikan belum cukup membuat ekonomi Negeri Beruang Merah itu jatuh.

Sebab hingga 2024 kemarin, pertumbuhan ekonomi Rusia masih melampaui ekonomi semua negara maju yang tergabung dalam G7 yakni Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan AS. Di mana ekonomi Rusia tercatat tumbuh sebesar 4,3% pada tahun lalu, dibandingkan dengan Inggris yang berada di 1,1% dan pertumbuhan ekonomi AS yang hanya 2,8%.

Pertumbuhan ekonomi Rusia ini dipimpin oleh rekor pengeluaran militer Kremlin. Lalu ekspor minyak negara itu, juga tetap relatif stabil berdasarkan volume karena pasokan yang tadinya ditujukan ke Eropa telah dialihkan ke China dan India.

Namun inflasi terus melonjak tinggi, suku bunga juga sudah naik hingga 20%, dan perusahaan-perusahaan Rusia kesulitan mencari tenaga kerja yang dibutuhkan. Membuat pergerakan ekonomi di negara itu sangat rentan.

Bahkan pada Juni 2025 kemarin, Menteri ekonomi Rusia memperingatkan bahwa negara tersebut tengah berada di ambang resesi. Kemudian beberapa pengamat juga memperkirakan ekonomi Rusia akan menuju kehancuran.

"Secara keseluruhan, situasinya akan cukup tidak nyaman hingga akhir tahun 2026, dan pasti akan ada gagal bayar dan kebangkrutan," kata seorang ekonom yang berbasis di Moskow, Yevgeny Nadorshin.

Namun, ia memperkirakan kemerosotan itu tidak akan separah yang diberitakan oleh negara-negara barat dan menyebut setiap dugaan kehancuran ekonomi Rusia sebagai kebohongan.

Nadorshin menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Rusia saat ini berada pada rekor terendah 2,3%, dan kemungkinan akan mencapai puncaknya hanya di 3,5% pada 2026 mendatang. Sebaliknya, tingkat pengangguran di Inggris mencapai 4,6% per April 2025.

Meski begitu, ia dan ekonom lainnya tetap merasa khawatir, karena Rusia tampaknya telah memasuki periode stagnasi. Di mana laju inflasi sudah mencapai 9,9% per April 2025, sebagian disebabkan oleh sanksi Barat yang menaikkan harga impor.

Di saat yang bersamaan Rusia tengah kekurangan pekerja dan membuat upah naik tinggi. Pada akhir tahun 2024, negara itu diperkirakan kekurangan sekitar 2,6 juta pekerja yang sebagian besar disebabkan oleh banyaknya laki-laki ikut pergi berperang atau malah melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari konflik tersebut.

"Bank sentral menaikkan suku bunga ke level rekor tahun ini untuk mencoba dan mengendalikan kenaikan harga, tetapi hal ini membuat perusahaan mengeluarkan lebih banyak biaya untuk mengumpulkan modal yang mereka butuhkan untuk berinvestasi," jelas BBC berdasarkan keterangan para ekonom.

Sementara itu, pendapatan minyak dan gas Rusia turun akibat sanksi dan melemahnya harga. Hal ini mengakibatkan defisit anggaran yang semakin besar, sehingga negara memiliki lebih sedikit dana untuk dibelanjakan pada infrastruktur dan layanan publik.

Tonton juga video "Peringatan Tsunami di Chili Buntut Gempa Rusia, Warga Dievakuasi" di sini:

(igo/fdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads