Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan tarif impor yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) ke Indonesia sebesar 19% berlaku mulai 7 Agustus 2025. Hal ini sesuai perintah eksekutif terbaru dari Presiden AS Donald Trump kepada sejumlah mitra dagangnya.
Dalam kesepakatan tersebut, Indonesia menyetujui tarif masuk hingga 19 persen untuk ekspor produknya ke AS, sementara barang-barang asal Negeri Paman Sam bisa masuk ke pasar Indonesia dengan tarif yang jauh lebih rendah, bahkan hingga nol persen.
Kesepakatan tersebut sebagai bentuk afirmasi bahwa Indonesia tidak berpihak dalam konflik dagang maupun rivalitas kekuatan besar dunia.
"Setelah kunjungan Presiden Prabowo ke Beijing pada akhir 2024 dan pernyataan bersama dengan Presiden Xi Jinping, banyak yang mengira Indonesia cenderung condong ke China. Tapi, kesepakatan dengan Trump menunjukkan bahwa Indonesia juga merangkul AS," kata Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), Johanes Herlijanto, Jumat (1/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Johanes, strategi Prabowo menjaga hubungan baik dengan dua kekuatan dunia ini merupakan upaya untuk memobilisasi dukungan global terhadap agenda pembangunan nasional Indonesia. Kebijakan ini dinilai sebagai bentuk diplomasi ekonomi untuk menjaga stabilitas nasional.
Meski demikian, Johanes juga mengingatkan potensi risiko dari kesepakatan ini, terutama kemungkinan munculnya tekanan dari pihak China. Ia mengungkapkan dua hal yang perlu diwaspadai. Pertama, jika RRC menuntut pengurangan hambatan dagang yang lebih besar, maka dominasi produk China di pasar domestik bisa semakin meningkat dan mengancam industri lokal.
"Kedua, jika China meminta porsi lebih besar dalam proyek-proyek infrastruktur strategis, seperti yang terjadi dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, maka risiko pembengkakan anggaran dan beban utang jangka panjang bisa kembali terjadi," ujarnya.
Sementara itu, Staf ahli dan juru bicara bidang ekonomi di Kantor Komunikasi Presiden, Fithra Faisal Hastiadi, menyatakan kesepakatan tarif dengan AS merupakan hasil terbaik yang bisa dicapai pemerintah Indonesia saat ini.
Menurutnya, tarif 15-20% yang diberikan AS kepada Indonesia tergolong ideal, mengingat sejumlah negara lain seperti Vietnam mendapat tarif lebih tinggi, yakni sekitar 20 persen.
"Kalau ada negara ASEAN lain yang mendapat tarif lebih rendah, kita bisa ajukan renegosiasi," kata Fithra, yang juga dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
Fithra menambahkan bahwa Indonesia sedang mengupayakan agar produk-produk tertentu seperti rempah, kopi, nikel, dan minyak kelapa mentah, yang tidak bersaing langsung dengan produk AS, bisa memperoleh tarif nol persen.
"Ini bukan hanya kesepakatan ekonomi, tapi juga diplomasi yang menunjukkan bahwa AS menilai Indonesia sebagai mitra strategis," ucapnya.
(igo/fdl)