Dunia sedang menghadapi puncak ketidakpastian tertinggi sepanjang sejarah. Hal ini dihitung berdasarkan Global Economic Policy Uncertainty Index yang membaca sejumlah indikator perkembangan global.
Menurut Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Firman Hidayat ketidakpastian itu berasal dari berbagai dinamika, misalnya kenaikan tarif dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump hingga pecahnya konflik di berbagai kawasan. Sekadar informasi, DEN merupakan lembaga yang dibentuk untuk memberi nasihat kepada presiden terkait kebijakan ekonomi. DEN dipimpin oleh Luhut Binsar Pandjaitan.
"Saat ini kita menghadapi situasi ekonomi dunia yang penuh ketidakpastian. Kalau kita lihat ini ada Global Uncertainty Index yang menggambarkan ketidakpastian yang ada di dunia. Tahun 2025 kita mencapai titik yang paling tinggi dalam sejarah indeks ini pernah ada," ujarnya dalam Katadata Policy Dialogue di Hotel Luwansa di Jakarta, Selasa (5/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: PPATK Buka Blokir 122 Juta Rekening Nganggur |
"Faktornya ada banyak, ada Trump Tarif, ada perang dan lain-lain termasuk perubahan. Perubahan yang sifatnya structural seperti perubahan iklim dan AI. Jadi kita sedang menghadapi situasi dunia yang penuh ketidakpastian," tambah dia.
Beberapa faktor lain mencakup pelambatan ekonomi China, pertumbuhan ekonomi Eropa yang rentan, perubahan global supply chain, isu ketahanan pangan global, hingga divergensi kebijakan global.
Tingginya ketidakpastian menggerus angka pertumbuhan ekonomi dunia. Tahun ini saja International Monetary Fund (IMF) sudah mengoreksi angka pertumbuhan ekonomi dunia sebanyak 3 kali.
"Di Januari mereka memprediksi 3,3%, tapi di bulan April mereka koreksi menjadi 2,8%. Minggu lalu mereka koreksi menjadi 3% lagi, tetapi masih relatif lebih rendah dibandingkan bulan Januari," tuturnya.
Seiring dengan penurunan ekonomi dunia, volume perdagangan dunia juga anjlok. Harga komoditas internasional, terutama batu bara juga terkoreksi cukup dalam, hingga foreign direct investment yang kian menyusut.
"Jadi kita dihadapkan pada situasi yang kurang kondusif. Sementara di satu sisi kita juga memiliki target-target yang cukup tinggi. Untungnya semua tekanan global ini membuat hampir semua negara dikoreksi ke bawah. Indonesia proyeksinya IMF di 4,8% untuk tahun 2025. Tapi kan kita punya targeting lebih tinggi daripada itu. Tahun 2025 kita targetnya 5,2%. tutupnya.
Lihat juga Video: Video Fenomena Rojali di Tengah Krisis Daya Beli
(ily/kil)