Jawaban Singkat Luhut soal Data Pertumbuhan Ekonomi RI Banyak Diragukan

Jawaban Singkat Luhut soal Data Pertumbuhan Ekonomi RI Banyak Diragukan

Ilyas Fadilah, Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Rabu, 06 Agu 2025 18:54 WIB
Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan
Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan - Foto: Aulia Damayanti/detikcom
Jakarta -

Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan merespons kritik ekonom terhadap data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II yang mencapai 5,12% secara year on year (YoY). Kredibilitas data dari Badan Pusat Statistik (BPS) itu diragukan karena melampaui ekspektasi dan prediksi berbagai pihak.

Meski pertumbuhan ekonomi dianggap terlalu tinggi, Luhut justru menilai angka tersebut tergolong sudah bagus. Bahkan Luhut menyebut pertumbuhan ekonomi bisa melebihi 5,12% jika kebijakan deregulasi atau penyederhanaan regulasi dijalankan.

"Saya kira udah bagus, bisa lebih tinggi kalau kita deregulasinya jalan," ujar Luhut usai hadiri Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (6/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kredibilitas data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 ini diragukan karena ada sejumlah komponen perhitungan yang dinilai tidak sesuai dengan indikator perhitungan lainnya.

ADVERTISEMENT

Sebut saja salah satunya dari komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang menurut BPS pada kuartal II 2025 ini tumbuh hingga 6,99%. Menurutnya angka pertumbuhan komponen yang satu ini tidak sesuai dengan realita, mengingat sektor industri manufaktur dalam negeri sedang mengalami tekanan karena berbagai faktor.

"Ada keraguan dong. Karena situasi ekonomi sekarang terutama dari investasi, kok di tengah ketidakpastian ada kenaikan investasi yang cukup tinggi dari PMTB. Nah ini juga menjadi salah satu keraguan terhadap kredibilitas data BPS," kata Bhima kepada detikcom, Selasa (5/8/2025).

Bhima menjelaskan ketika sektor industri manufaktur Tanah Air sedang mengalami tekanan, seharusnya komponen PMTB ikut mengalami pelemahan. Sebab menurutnya tidak mungkin pengusaha dalam negeri meningkatkan investasi dalam bentuk aset tetap saat sektor industrinya sedang tertekan.

"Industri manufaktur sebenarnya mengalami kontraksi. Tercermin dari PMI manufaktur turun pada Juni dari 47,4 menjadi 46,9. Jadi kalau ada PMI manufaktur yang turun sementara pertumbuhan industri manufakturnya naik tinggi, ini kan ada data yang janggal, ada data yang tidak sinkron dari data BPS. Nah ini butuh penjelasan lebih detail," jelasnya.

"Kenapa industri naik padahal banyak dikabarkan PHK, efisiensi, banyak yang terpengaruh oleh rencana kebijakan tarif versi lokal Amerika, ini kok pertumbuhannya anomali? Nah inilah yang membuat kita bertanya-tanya terhadap data BPS ini. Kenapa kok nggak mencerminkan realitas sebenarnya di industri manufaktur?" terang Bhima lagi.

Senada, Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda menyebut ada ketidaksinkronan antara data pertumbuhan ekonomi dengan berbagai indikator. Nailul terang-terangan menyebut tidak percaya dengan data yang dirilis BPS.

"Ketidaksinkronan antara data pertumbuhan ekonomi dengan leading indikator, membuat saya pribadi tidak percaya terhadap data yang dirilis oleh BPS," tegas Nailul.

Nailul menambahkan BPS harusnya menjadi badan yang mengedepankan informasi data yang akurat tanpa ada intervensi pemerintah. Beberapa kejanggalan yang disorot Nailul antara lain:

(1) Pertumbuhan ekonomi triwulan 2 yang lebih tinggi dibandingkan triwulan yang ada moment ramadhan-lebaran terasa janggal. Hal ini dikarenakan tidak seperti tahun sebelumnya dimana pertumbuhan triwulanan paling tinggi merupakan triwulan dengan ada momen Ramadhan-Lebaran. Triwulan 1 2025 saja hanya tumbuh 4.87%, jadi cukup janggal ketika pertumbuhan triwulan 2 mencapai 5,12%.

(2) Pertumbuhan industri pengolahan yang mencapai 5,68% (jauh lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan 1 2025) tidak sejalan dengan Purchasing Managers Index atau PMI manufaktur Indonesia yang di bawah 50 poin dalam waktu April-Juni 2025. Artinya perusahaan tidak melakukan ekspansi (tambahan produksi) secara signifikan. Selain itu, kondisi industri manufaktur juga tengah memburuk, dengan salah satu leading indikatornya adalah jumlah PHK yang meningkat 32% (YoY) selama periode Januari-Juni.

(3) Konsumsi rumah tangga (RT) hanya tumbuh 4,96%. Dengan sumbangan mencapai 50 persen dari PDB, nampak janggal karena pertumbuhan konsumsi RT triwulan 1 2025 hanya 4,95% tapi pertumbuhan ekonomi di angka 4,87%.

Tidak ada momen yang membuat peningkatan konsumsi rumah tangga meningkat tajam. Indeks keyakinan konsumen (IKK) juga melemah dari Maret 2025 sebesar 121,1 turun menjadi 117,8 (Juni 2025). Apabila dikaitkan dengan PMTB (Pembentukan Modal Tetap Bruto) yang meningkat 6,99% tapi PMI Manufaktur di bawah batas ekspansi.

Sementara itu Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, memproyeksikan angka pertumbuhan di kuartal II tak akan menyentuh 5%. Tauhid cukup kaget ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5,12%.

"Angka pertumbuhan ekonomi ini ya ditetapkan pemerintah 5,12% agak kaget. Di luar perkiraan banyak orang termasuk saya yang memperkirakan di bawah 5%. Bahkan jauh, sekitar 4,8%, 4,9%. Saya sempat perkirakan antara 4,7% sampai 5,0%" ujarnya kepada detikcom, Selasa (5/8/2025).

Simak juga Video 'Pertumbuhan Ekonomi Diragukan, Airlangga Tepis Isu Permainan Data':

(kil/kil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads