Bekal Sebelum Terbang: Harapan di Balik Mimpi Hidup Sejahtera Pekerja Migran

Kolom

Bekal Sebelum Terbang: Harapan di Balik Mimpi Hidup Sejahtera Pekerja Migran

Trubus Rahardiansyah - detikFinance
Rabu, 06 Agu 2025 21:15 WIB
Sejumlah Warga Negara Indonesia (WNI) berada di kapal saat dideportasi di Pelabutan Stulang Laut Malaysia, Johor Bahru, Kamis (14/11/2024). Konsulat Jenderal Republik Indonesia Johor Bahru memfasilitasi pemulangan 105 WNI yang dideportasi dari Malaysia lewat jalur laut ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. ANTARA FOTO/Virna Puspa Setyorini/YU
Ilustrasi Foto: ANTARA FOTO/Virna Puspa Setyorini
Jakarta -

Cak Anas, sapaan Anas Hasyim, adalah seorang mantan instruktur selancar asal Bali yang pindah ke Jepang karena cinta. Cak Anas menikahi seorang warga Jepang yang ia kenal di Bali. Namun sejak menetap di negeri Sakura pada 2011, ia justru menemukan panggilan hidup baru: menjadi penghubung dan penguat bagi para Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang sering kali datang tanpa cukup bekal, lalu tersesat dalam sistem kerja yang rumit dan penuh tantangan.

Minat masyarakat Indonesia untuk bekerja di luar negeri terus meningkat, mencerminkan semangat mencari peluang yang lebih luas sekaligus memperkuat daya saing tenaga kerja Indonesia di kancah global. Berdasarkan data KP2MI, sepanjang Desember 2024 tercatat sebanyak 25.273 layanan penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI), meningkat 11,18% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Kenaikan ini menjadi indikator meningkatnya mobilitas tenaga kerja yang ingin berkontribusi secara ekonomi sekaligus memperluas wawasan dan keterampilan di tingkat internasional.

Namun, di balik semangat tersebut, terselip pertanyaan: Seberapa siap mereka sebelum berangkat? Fakta di lapangan menunjukkan tidak sedikit calon PMI memulai proses migrasi tanpa keterampilan dasar, tanpa pemahaman budaya kerja negara tujuan, bahkan tanpa jalur penempatan yang legal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Minimnya informasi, belum meratanya kualitas dan akuntabilitas lembaga penyalur, serta rendahnya literasi keuangan dan kemampuan bahasa asing membuat banyak pekerja rentan ditipu, dieksploitasi, atau gagal bertahan dalam sistem kerja yang kompetitif dan penuh tantangan.

Masalah-masalah ini pula yang sering Cak Anas hadapi. Sebagai orang yang aktif menjadi penghubung antarwarga Indonesia di Jepang, ia rutin berkeliling menjangkau PMI di Prefektur Ibaraki. Dalam pertemuan-pertemuannya, Cak Anas membangun ruang komunikasi, menyebarkan informasi penting, dan memberikan dukungan moral. Dalam perannya sebagai relawan sosial, ia menyaksikan langsung berbagai persoalan yang seharusnya bisa dicegah sejak awal

ADVERTISEMENT

Ketidaksiapan Dasar yang Berulang

Menurut Cak Anas, masalah utama yang berulang adalah ketidaksiapan dasar terkait kualitas talenta. Banyak calon PMI tidak memiliki kemampuan bahasa memadai, dan terjebak dalam bujuk rayu Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang tidak legal. Beberapa LPK hanya memberikan pelatihan bahasa dengan biaya tinggi, tanpa membekali calon pekerja dengan pengetahuan tentang sistem kerja, budaya organisasi, maupun etika profesional di negara tujuan.

Bahkan, banyak yang tergoda iming-iming keberangkatan cepat dan gaji besar dari LPK fiktif. Padahal, menurutnya, proses yang terlalu instan justru cenderung menjerumuskan ke kondisi kerja yang rentan.

"Akan sangat baik jika para calon pekerja bisa mendapatkan pelatihan sebelum berangkat, sebagai bekal yang memadai. Sayang sekali jika sudah menempuh perjalanan jauh dari Indonesia ke negara lain, namun justru menghadapi berbagai permasalahan yang kompleks," jelas Cak Anas.

Persiapan ideal, menurutnya, mencakup setidaknya lima bulan pelatihan intensif, mulai dari bahasa, pemahaman sistem ketenagakerjaan, hingga pembekalan budaya dan mental. Edukasi ini bukan hanya soal keahlian teknis, tetapi perlindungan dasar bagi pekerja agar mampu menghadapi tantangan secara sadar dan mandiri.

Cak Anas mencatat bahwa dari banyak kasus overstay (berada di luar negeri tanpa visa) yang ia temui, sekitar 60% terjadi karena penipuan dari LPK fiktif, sementara 40% sisanya disebabkan pekerja yang kabur dari perusahaan akibat ketidaksesuaian dengan kontrak kerja. Minimnya pemahaman terhadap hak dan kewajiban sebagai pekerja resmi menyebabkan banyak PMI terjebak dalam situasi ilegal, yang pada akhirnya membahayakan posisi mereka secara hukum dan sosial di negara tujuan.

Kesiapan Mental dan Literasi Keuangan, Kunci Sukses PMI

Pandangan Cak Anas selaras dengan pengalaman Bambang Sulisno, mantan PMI Korea Selatan yang kini sukses menjadi pengusaha di bidang makanan olahan dengan puluhan karyawan, PT Prasodjo Mukti Kurnia. Bambang pernah menghadapi tantangan berat sejak proses keberangkatan, seperti biaya yang besar, risiko penipuan, hingga adaptasi budaya kerja yang jauh berbeda.

"Pembekalan dulu hanya tiga hari, sifatnya formalitas. Bahasa, mental, bahkan cara kerja yang sesungguhnya tidak diajarkan. Akhirnya saya belajar langsung di lapangan, menghadapi perundungan, gaji tidak sesuai kontrak, dan harus menempuh jalur hukum untuk melawan ketidakadilan," kisah Bambang.

Menurut Bambang, yang paling penting bukan hanya bahasa atau keterampilan teknis, tetapi mindset yang benar dan ketahanan mental. "Bahasa bisa dipelajari, tapi mental dan tujuan hidup harus jelas sejak awal," tegasnya.

Bambang juga menekankan perlunya literasi keuangan sebagai bagian dari pembekalan. Banyak PMI pulang dengan tabungan yang habis karena tidak tahu cara mengelola pendapatan. Ia menilai pemerintah perlu menyediakan saluran edukasi yang dapat diakses terus-menerus, bukan hanya seminar sekali lewat.

"Materi seperti pengelolaan keuangan, hukum ketenagakerjaan, dan budaya kerja seharusnya tersedia dalam bentuk yang mudah diakses, misalnya seperti video pembelajaran yang bisa ditonton berulang kali," sarannya.

Menyiapkan, Bukan Sekadar Melepas

Baik Cak Anas maupun Bambang sepakat bahwa perlindungan PMI tidak boleh berhenti pada tahap penempatan. Negara perlu membangun ekosistem pembekalan yang lebih komprehensif dari pembinaan LPK yang berkualitas, kurikulum pelatihan yang relevan, hingga pendampingan setelah PMI kembali ke tanah air.

Karena bekerja di luar negeri bukan hanya tentang mencari nafkah, tetapi tentang kembali dengan bekal keterampilan, keuangan yang sehat, dan mentalitas yang lebih tangguh. Dengan persiapan yang matang, mimpi yang dibawa saat berangkat tak akan berubah menjadi luka, melainkan kisah sukses yang membanggakan.

Jika tantangan yang dihadapi calon pekerja migran selama ini tidak segera dijawab, kita hanya akan mengulang pola yang sama: berangkat tanpa bekal yang memadai, lalu kembali tanpa hasil yang berarti. Dibutuhkan ekosistem yang mampu menyiapkan mereka sejak awal.

Inilah yang tampaknya sedang dijawab Kementerian Koordinator Pemberdayaan Masyarakat (Kemenko PM) melalui Perintis Berdaya, dengan salah satu pilar utamanya, Berdaya Global. Program ini tidak hanya berfokus pada peningkatan keterampilan kerja, tetapi juga menciptakan fondasi yang membuat pekerja migran Indonesia mampu bersaing secara profesional di pasar kerja internasional.

PMI Harus Siap Berangkat dan Siap Pulang dengan Lebih Berdaya

Melalui pendekatan ini, calon PMI akan dibekali pelatihan berbasis kompetensi, sertifikasi kerja bertaraf internasional, pembelajaran literasi keuangan, serta pemahaman tentang budaya dan hukum ketenagakerjaan negara tujuan. Lebih dari itu, penguatan mental dan pembinaan tujuan hidup juga menjadi bagian penting, agar para pekerja tidak sekadar "siap berangkat", tetapi juga "siap pulang" dengan hasil yang produktif dan berkelanjutan.


Trubus Rahardiansyah
Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti

Lihat juga Video 'Pemerintah RI Pulangkan 84 WNI Penipuan Online di Myanmar':

Halaman 2 dari 2
(ang/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads