Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat ada Rp 362,5 triliun per tahun penerimaan pajak yang tidak masuk ke kantong negara karena adanya fasilitas perpajakan. Artinya, potensi penerimaan tersebut diikhlaskan karena pemerintah memberikan insentif pajak.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan potensi yang direlakan itu adalah tax expenditure alias belanja perpajakan yang diberikan negara sebagai fasilitas atau insentif, baik berbentuk pembebasan maupun pengecualian pajak. Menurutnya, belanja perpajakan pada akhirnya dirasakan langsung oleh masyarakat.
"Artinya dengan secara sengaja pemerintah memberikan fasilitas atau insentif (perpajakan) kepada masyarakat," kata Yon dalam webinar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Jakarta, Selasa (26/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anak buah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati itu menyebut nilai tax expenditure berkembang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Khusus di 2023, jumlah pajak yang direlakan negara mencapai Rp 362 triliun atau 1,73% dari produk domestik bruto (PDB).
"Pada 2023 total besaran insentif pajak yang seharusnya diterima (sebagai penerimaan pajak) oleh pemerintah, tapi kemudian diberikan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pengecualian, pembebasan pajak atau objek pajak yang tidak dikenai pajak itu kita lihat sebesar Rp 362 triliun per tahun atau 1,73% dari PDB," tuturnya.
Jumlah itu meningkat dibandingkan belanja perpajakan pada 2020 yang senilai Rp 246,1 triliun alias 1,59% terhadap PDB, lalu Rp 314,6 triliun di 2021, dan Rp 341,1 triliun pada 2022.
Yon kemudian membedah penerima manfaat dari belanja perpajakan pada 2023 lalu. Menurutnya, masyarakat menjadi yang paling banyak merasakan manfaat dari tax expenditure yang diberikan pemerintah tersebut.
"Kalau kita lihat dari penerima manfaatnya itu paling besar digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yaitu sekitar Rp 169 triliun (46,7%), termasuk di dalamnya dalam bentuk misalnya pengecualian PPN (pajak pertambahan nilai) atas pendidikan, barang kebutuhan pokok, kesehatan dan sebagainya," jelasnya.
Lalu, 23,6% lainnya atau senilai Rp 85,4 triliun dipakai untuk membantu pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Yon mencontohkan pemerintah tidak memungut pajak kepada UMKM yang penghasilannya di bawah Rp 500 juta per tahun.
Sedangkan Rp 61,2 triliun atau setara 16,9% digunakan untuk meningkatkan iklim investasi, serta Rp 46,8 triliun alias 12,9% sisanya sebagai upaya pemerintah mendukung dunia bisnis.
"Inilah insentif yang diberikan secara sengaja oleh pemerintah dalam bentuk tax expenditure. Pemerintah merelakan tidak mendapatkan penerimaan (pajak) pada saat ini, tetapi diberikan kepada masyarakat melalui berbagai insentif pajak," tutur Yon.
Lihat juga Video: Analogi Sri Mulyani soal Pajak dan Zakat Sudah Tepat?