Harga Sarang Burung Walet RI Anjlok & Ekspor Tersendat, Ini Biang Keroknya

Harga Sarang Burung Walet RI Anjlok & Ekspor Tersendat, Ini Biang Keroknya

Retno Ayuningrum - detikFinance
Kamis, 28 Agu 2025 16:32 WIB
Budidaya sarang burung walet memang sangat menggiurkan dan menjanjikan untung segunung. Itulah yang dirasakan oleh Marsel pengusaha yang baru saja merintis usaha tersebut. Gimana kisahnya?
Ilustrasi/Sarang Burung Walet/Foto: Rachman_punyaFOTO
Jakarta -

Eksportir sarang burung walet Indonesia menghadapi tantangan turunnya harga dan terhambatnya ekspor. Kendala ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah China.

Pembina Sarang Walet Indonesia Benny Hutapea mengatakan kebijakan itu menetapkan parameter baru terkait kandungan aluminium <100mg/kg. Aturan tersebut sebelumnya tidak pernah tercantum dalam MoU protokol impor antara Indonesia dan China.

"Suspend ekspor sarang burung walet ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sejak Juli 2024, yang diberlakukan secara mendadak oleh General Administration of Customs of China (GACC) terhadap 11 perusahaan teregistrasi," kata Benny dalam keterangannya, Kamis (28/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Indonesia Produsen Sarang Burung Walet Terbesar

Benny mengatakan, Indonesia menjadi salah satu produsen sarang burung walet terbesar di dunia, dengan produksi ±1.900 ton per tahun berdasarkan laporan 2023 dan angka ini terus meningkat setiap tahunnya secara kuantitas.

Namun, harga sarang burung walet turun rata-rata Rp 20 juta/kilogram (kg), padahal potensi nilai komoditas ini setara dengan Rp 38 triliun per tahun (US$ 2,35 miliar). Posisi strategis ini menjadikan sarang burung walet sebagai komoditas unggulan yang bernilai devisa tinggi sekaligus menopang kehidupan masyarakat luas.

ADVERTISEMENT

Benny menyebut penangguhan tersebut menimbulkan dampak yang sangat luas. Pertama, penurunan volume ekspor sekitar 250 ton/tahun atau setara Rp 5 triliun (US$ 309 juta). Padahal pasar utama dan terbesar adalah China sebesar 78% dari total ekspor.

Kedua, ancaman PHK bagi ratusan ribu tenaga kerja pabrik, UMKM, dan rantai pasok. Benny menerangkan satu juta lebih petani walet di seluruh Indonesia kesulitan menyalurkan hasil panen karena menurunnya serapan pasar, sehingga pendapatan masyarakat di daerah terpukul keras.

"Harga sarang walet jatuh signifikan dari Rp 45 juta/kg (±US$ 2.780/kg) menjadi Rp 20 juta/kg (±US$ 1.235/kg), dan berpotensi terus melemah jika kebijakan ini tidak segera dicabut," terang dia.

Ketiga, kepercayaan konsumen global menurun, sehingga berisiko meluas menjadi hambatan ekspor bagi seluruh perusahaan Indonesia, bukan hanya 11 perusahaan yang terkena suspend. Kontribusi devisa negara berpotensi menurun drastis yang berpotensi besar di sektor pangan, farmasi, nutraceutical, herbal, dan kosmetik.

Ia menilai, industri sarang walet menjadi terpuruk sehingga tidak dapat berkontribusi optimal pada diversifikasi ekonomi, peningkatan daya saing global, dan penciptaan lapangan kerja baru. Jika kondisi ini berlanjut, Indonesia hanya akan berperan sebagai pengekspor bahan mentah yang belum diolah ke China.

Akibatnya, produk sarang burung walet dunia berisiko didominasi label Made in China, sehingga nilai tambah, lapangan kerja, serta citra produk yang seharusnya menjadi kebanggaan Indonesia berpindah ke negara lain. Ia meminta pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Ia berharap pemerintah dapat mengupayakan negosiasi tingkat tinggi dengan Pemerintah China agar penangguhan ekspor segera dipulihkan. Pemerintah juga diminta memperbarui protokol perdagangan bilateral agar lebih adil dan berbasis ekonomi serta memberikan jaminan keberlanjutan ekspor sarang burung walet Indonesia, sekaligus mendukung peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi industri.

Tonton juga video "Kisah Petani Porang Banting Stir Merambah Usaha Walet" di sini:

(rea/ara)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads