Nasib ekonomi kelas menengah di Indonesia masih menjadi pertanyaan. Setelah jumlahnya menyusut karena banyak yang justru turun kelas, kaum menengah dianggap tidak kalah butuh lebih banyak dukungan dari pemerintah.
"Bicara kelas menengah, tidak ada upaya konkrit yang membantu daya beli mereka. Apalagi soal pajak, ini kan penting. Belum lagi urusan royalti, UMKM 0,5%, atau PPN. Saya kira ini yang perlu diusulkan untuk diubah untuk menggenjot daya beli mereka." kata ekonom senior, Tauhid Ahmad kepada detikcom dalam program detikSore beberapa waktu lalu, ditulis Jumat (5/9/2025).
Data Bank Dunia mengungkapkan, dari 2019 hingga 2024, 40% masyarakat termiskin mengalami peningkatan konsumsi sebesar 2-3% per tahun, ditopang oleh bantuan sosial dari pemerintah setelah memperhitungkan inflasi. Sementara itu 10% golongan masyarakat terkaya juga mengalami peningkatan konsumsi tahunan sebesar 3%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah, untuk golongan kelas menengah maupun calon kelas menengah-mereka yang berada dalam persentil ke 40-90 dari distribusi konsumsi-hanya mengalami pertumbuhan sekitar 1,3% per tahun pada periode 2019-2024. Hal ini menunjukkan adanya penurunan daya beli pada kelas menengah.
"Meskipun angka kemiskinan kita turun, tapi yang di atas garis kemiskinan itu tambah banyak. Ini yang jadi problematik." jelas Tauhid.
Daya beli kelas menengah yang kian tertekan juga didukung oleh besaran gaji yang segitu-gitu saja, hingga tingginya pengeluaran imbas kenaikan harga. Tak heran jika semakin banyak orang berhemat dalam mengatur pengeluaran, bahkan untuk urusan makan.
Daya beli ini juga terlihat dari pelemahan laju simpanan masyarakat. Khususnya untuk simpanan di bawah Rp 100 juta milik masyarakat kelas menengah. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat, jumlah nominal simpanan di bawah 100 juta terkontraksi sebesar 0,9% per Mei 2025.
Laju pertumbuhan jumlah tabungan masyarakat Indonesia saat ini justru dimenangkan oleh mereka orang-orang kaya alias kalangan atas. Sebab nominal simpanan hingga di bawah Rp 5 miliar naik cukup tinggi mencapai 1%. Tauhid berharap pemerintah memberikan terobosan untuk membantu daya beli kelas menengah.
"Saya kira bagi yang bisa berdampak langsung, misal upah buruh, ojol, beberapa policy kayaknya bisa dilakukan dengan cepat. Misalnya diskon untuk transportasi dan sebagainya yang bisa bantu daya beli." kata Tauhid.
Termasuk jika harus menunda beberapa kebijakan perpajakan hingga urusan royalti musik. "Urusan royalti tunggu dulu deh, biar yang di bawah hidup dulu, ditinjau ulang kebijakan itu karena kan cukup memberatkan masyarakat. Termasuk PBB (pajak bumi dan bangunan) dan sebagainya." lanjut Tauhid.
"Katanya di Komisi XI juga ada gagasan menurunkan tarif PPN dari 11 ke 10. Itu paling tidak menambah daya beli masyarakat. Seperti halnya di negara lain, itu banyak yang diturunkan, fleksibel saja dengan situasi ini. Saya kira jangka pendek itu bisa direalisasikan." tambahnya.
(eds/ily)