Indonesia mengalami dua kali 'gempa politik' beberapa waktu terakhir. Pertama, karena demo yang meluas yang berlanjut dengan kerusuhan, pembakaran dan korban jiwa. Kedua, mini reshuffle yang tak terduga. Bahkan lebih cepat satu bulan dari prediksi banyak orang.
Perihal kedua ini, yang kemudian menjadi magnet perhatian luas. Mengapa? Karena portofolio Kementerian Keuangan yang diemban oleh salah satu 'wanita terkuat' dunia mengalami pergantian. Ya, Sri Mulyani harus exit dari Kabinet Prabowo.
Tentu saja, pergantian itu menggemparkan dunia persilatan. Efek domino terjadi. Bursa langsung anjlok terjerembab. Terlebih lagi, sosok yang menggantikannya yakni Purbaya Yudhi Sadewa, dipandang tak sepopuler Sri Mulyani dan dinilai 'kurang diterima pasar'.
Namun demikian, Prabowo Subianto sebagai Presiden telah menggunakan hak istimewa prerogatifnya. Dan itu harus dihormati. Ia sudah mempercayakan jabatan menantang -- untuk tidak mengatakannya sebagai kursi panas kepada Sang Purbaya.
Sayangnya, saat mikroskop dan lampu sorot serta serbuan pertanyaan wartawan membombardirnya, menkeu baru ini mulai sedikit blunder. Mungkin agak demam panggung. Maklum saja. Jangan-jangan, ia juga masih syok harus menempati posisi sehebat dan seruwet itu.
Jawabannya terlalu apa adanya, santai, ceplas-ceplos. Keterampilan diplomasi dan public speaking-nya lemah. Malah sebagian netizen menilai sang Purbaya nir-empati. Namanya juga tafsir bebas netizen.
Baiklah, kita kembali ke laptop. Tugas Purbaya memang berat. Apalagi ia menggantikan sosok yang bagi sebagian kalangan dipandang memiliki reputasi sedahsyat itu. Meskipun bagi kalangan lain, ia dijului 'ratu utang'. Sebuah tuduhan yang menyengat dan pasti membuat emosi orang yang dituduh.
Apapun ucapan, gestur, tindakan dan kebijakan menkeu baru maka pasti akan dibandingkan dengan menkeu lama. Sri Mulyani akan selalu jadi patokan.
Jika melihat rekam jejak Purbaya. Latar belakang pendidikan rekam jejak dan pas-pos yang pernah didudukinya maka sesungguhnya memenuhi standar minimal. Hanya saja, ia tak punya rekam jejak atau pernah menjabat di IMF atau World Bank seperti Mbak Ani. Jadi memang tak bisa dibandingkan secara apple to apple.
Jika skill dan kompetensi sudah memadai maka sesungguhnya ia mempunyai modal dasar yang memadai. Oleh karenanya, yang diperlukan segera olehnya adalah menjadi pembelajar yang cepat (quick-learner). Belajar tentang apa? Yakni tentang tupoksi kementerian sebesar keuangan.
Ia harus memilah mana isu yang urgent untuk segera dibahas dan diselesaikan. Dan mana isu yang very important, tapi sesungguhnya tidak mendesak dibahas dan diselesaikan. Panggil semua eselon 1 di Kemenkeu, minta mereka untuk mem-brief secara cepat dan lengkap. Terutama menyangkut isu-isu utama dan prioritas.
Selain itu, yang juga tidak kalah penting adalah ia harus memiliki kerendahhatian belajar cepat tentang diplomasi atau public speaking. Karena ucapan dan tindakannya bagai mantra. Tidak boleh lagi ada kesalahan. Minor saja tak boleh, apalagi major mistakes.
Yang pasti, kita semua memang harus memberi waktu dan ruang terlebih dahulu kepadanya untuk bekerja. Terlalu dini, jika ia disuruh mundur. Terlalu awal untuk menilai dia gagal atau berhasil. Waktu dan ruang kita berikan agar ia bisa memperbaiki diri. Agar ia bisa unjuk dan mendemonstrasikan kemampuannya. Siapa tahu berhasil baik, bukan?
Namun, jika ia tak mau melakukan self correction atau memperbaiki diri . Ditambah melakukan kesalahan fatal yang terus berulang. Maka, apa boleh buat. Presiden harus mencarikan posisi yang lebih cocok untuknya. Maaf saja, tapi bukan di Kementerian Keuangan. Wallahu'alam.
Nur Iswan
YouTuber & Senior Advisor INDOPOL
Simak Video "Video: Menkeu Purbaya Usul Anggaran Kemenkeu Rp 52,016 T di 2026"
(ang/ang)