Pegiat startup Amerika Serikat (AS) waswas dengan kebijakan Presiden AS Donald Trump yang berencana mengenakan biaya US$ 100.000 atau sekitar Rp 1,6 miliar (kurs Rp 16.690) pada aplikasi visa H-1B.
Visa H-1B memungkinkan perusahaan untuk sementara mempekerjakan pekerja asing di bidang-bidang pekerjaan terampil seperti TI, kesehatan, dan teknik. Visa tersebut sudah sulit didapatkan oleh startup AS karena kuota tahunan yang terbatas, kini tarifnya malah naik.
Desmond Lim, CEO Workstream, startup teknologi SDM, penggajian, dan perekrutan Workstream, mengatakan semua aplikasi H1-B untuk para pekerjanya telah ditolak. Hal ini sangat mengecewakannya karena perusahaannya berusaha untuk mendapatkan lebih banyak talenta teknik terbaik.
"Sebagai startup tahap awal, setiap rekrutan sangat berharga, dan kami hanya memilih yang terbaik untuk mengikuti program H-1B, karena tidak hanya membutuhkan biaya, tetapi juga waktu," kata Lim dikutip dari CNBC, Kamis (25/9/2025).
Gedung Putih berencana mewajibkan perusahaan membayar US$ 100.000 saat mengajukan visa H-1B baru. Hal ini akan menjadi sebuah ganjalan bagi para startup untuk merekrut tenaga kerja terbaiknya dari luar AS. Biaya tersebut terlalu tinggi untuk dibenarkan bagi perusahaan startup seperti yang dimiliki Desmond Lim.
Lim tidak sendirian dalam kekhawatirannya, startup di seluruh negeri, bersama dengan pekerja dengan visa H1B, juga mengkhawatirkan implikasi dari biaya baru tersebut.
Alma, startup teknologi hukum yang berbasis di San Francisco yang menyediakan konsultasi imigrasi bagi para profesional dan startup lainnya, mengatakan mereka telah melihat lonjakan 100 kali lipat dalam jumlah pertanyaan soal visa H1B sejak pengumuman Gedung Putih pada hari Jumat.
"Selama beberapa hari terakhir, klien merasa takut dan cemas, karena ukuran perusahaan mereka menunjukkan bahwa mereka tidak akan mampu membayar US$ 100 ribu dan bersaing dalam hal gaji," kata CEO Alma, Aizada Marat.
Alma tidak hanya memberi nasihat kepada perusahaan tentang perekrutan talenta H-1B, tetapi juga merekrut kandidat melalui program itu sendiri. Startup, menurut Marat, memang seringkali mengandalkan pencarian talenta asing untuk mendapatkan keunggulan dibandingkan tenaga kerja yang kurang memadai di AS.
Marat telah menyarankan perusahaan untuk menunggu kejelasan lebih lanjut tentang perubahan visa H-1B sebelum mengubah strategi perekrutan.
Para kapitalis ventura dan pakar inovasi sepakat bahwa startup akan paling terdampak oleh biaya visa H-1B. Biaya US$ 100 ribu secara tidak proporsional merugikan startup karena mereka kekurangan sumber daya yang dimiliki perusahaan mapan untuk menyiapkan biaya tersebut. Para startup hanya bergantung pada talenta global untuk meningkatkan skala usaha
Menurut Alexandre Lazarow, Managing Partner Fluent Ventures mengatakan startup seringkali kesulitan merekrut insinyur dan spesialis yang mereka butuhkan secara lokal, tetapi memilih untuk mengimpor talenta melalui imigrasi, daripada membangun tim jarak jauh di luar negeri.
Tonton juga video "Video: Kenaikan Biaya Visa AS Bikin Panik" di sini:
(hal/ara)