Komisi VI DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama pakar-pakar hukum dari sejumlah universitas di Indonesia. Hal ini membahas tentang perubahan keempat Undang-Undang (UU) BUMN mengenai Keuangan BUMN sebagai Keuangan Negara.
Pakar dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Mailinda Eka Yuniza menyoroti banyaknya regulasi BUMN yang menurutnya belum harmonis.
Beberapa peraturan yang disinggungnya antara lain UU BUMN itu sendiri, UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, hingga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Regulasi yang ada saat ini belum harmonis, yang mengatur BUMN. Nah kompleksitas regulasi itu salah satunya bisa dilihat dari banyaknya undang-undang yang mengatur BUMN, yang di mana BUMN itu harus tunduk," kata Mailinda, dalam RDPU bersama Komisi VI DPR RI di Senayan, Jakarta, Kamis (25/9/2025).
Menurutnya secara garis besar, UU terkait bisa dikelompokkan ke dalam dua kelompok, antara lain ada yang bersifat publik dan perdata. Namun tidak semuanya harmonis.
Ia mencontohkan aturan yang menempatkan BUMN sebagai badan hukum privat. Dalam hal ini, meskipun kekayaannya berasal dari negara, tetapi ketika dia sudah masuk ke badan hukum, maka ini sudah menjadi kekayaan BUMN terkait.
"Ini tunduk ke UU 40/2007 misalnya tentang PT dan dia menganut prinsip kekayaan terpisah. Perwujudan hukum privat terhadap BUMN ini terlihat dalam putusan MK 77/2011 dimana MK memutuskan bahwa piutang dan utang BUMN itu bukan utang atau piutang negara," ujarnya.
Namun demikian, Mailinda mengatakan, ada aspek hukum publik dari BUMN yang terlihat dari beberapa putusan MK, misalnya putusan MK no. 48 dan 62 yang memberikan dasar pada teori sumber.
"Artinya, sejauh manapun keuangan negara itu mengalir, selama sumbernya adalah keuangan negara, maka yang berlaku adalah hukum publik. Hukum terkait dengan keuangan negara," tuturnya.
Sementara itu, hukum terkait keuangan negara juga tunduk terhadap beberapa peraturan seperti UU Keuangan Negara, UU no. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU BPK, dan UU Tipikor.
"Menurut saya ini harus kita perhatikan juga, tetapi kita harus memiliki basis data yang kuat. Peraturan mana saja misalnya yang bertentangan, karena saya yakin yang membuatnya tidak kompetitif itu kalau peraturannya tidak harmonis. Kalau peraturannya harmonis dan lebih akuntabel, maka saya yakin seharusnya BUMN itu bisa menjadi lebih profesional," kata dia.
Menurut Mailinda, BUMN sebagai bagian dari keuangan negara, membuat para pejabatnya rawan terjerat UU Tipikor. Terkait hal ini, perlu diperhatikan apakah memang yang menjadi masalah ketika keuangan BUMN menjadi bagian keuangan negara, atau justru malah ada persepsi yang berbeda tentang delik dari Tipikor itu sendiri.
"Kalau misalnya yang berbeda adalah delik Tipikor-nya, maka yang harus kita perbaiki adalah persamaan perspektif, Tipikor itu diartikan sebagai apa," ujar Mailinda.
Tonton juga video "Tanggapan Pimpinan MPR Soal UU BUMN Baru: Bukan Berarti Kebal Hukum" di sini:
(shc/ara)