Pekerja ojek online saat ini diharapkan bisa mendapatkan perlindungan hukum dan regulasi. Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI M. Sarmuji menegaskan komitmen Fraksi Golkar untuk terus mengawal perlindungan hukum dan kepastian regulasi bagi pekerja ojek o
Menurut Sarmuji Fraksi Partai Golkar telah mengambil langkah-langkah konkret untuk memperjuangkan kepentingan para pekerja ojol agar diakui, dilindungi, dan difasilitasi dalam regulasi nasional.
Sarmuji juga menjelaskan Fraksi Partai Golkar juga sudah mengusulkan RUU tentang Perlindungan Pekerja Ekonomi Gig yang mengatur perlindungan pekerja lepas seperti pengemudi ojek online dan yang semisal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami sudah memasukkan unsur pekerja ojek online dalam revisi UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Ketenagakerjaan, sekaligus mengusulkan RUU Perlindungan Pekerja Ekonomi Gig yang di dalamnya juga mengatur secara khusus pekerja ojol," kata dia dalam keterangannya, ditulis Rabu (1/10/2025).
Selain itu, Fraksi Golkar juga aktif mendorong agar materi perlindungan pekerja ojol tercantum dalam revisi RUU Perubahan Ketiga atas UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. "Pak Ridwan Bae di Komisi V terus mengawal revisi UU LLAJ ini agar pekerja ojol yang selama ini belum diatur secara memadai bisa mendapatkan tempat dalam hukum," jelasnya.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu juga mengapresiasi langkah pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan yang telah menyusun RUU tentang Pekerja Platform dan RUU tentang Pekerja Lepas. "Upaya ini penting untuk menjawab kebutuhan zaman, di mana pekerjaan berbasis platform digital terus berkembang tetapi regulasinya masih tertinggal," ujarnya.
"Golkar tidak hanya berjuang di ruang legislasi, tetapi juga mendengar langsung aspirasi para pengemudi ojek online agar kebijakan yang lahir benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka," jelas Sarmuji.
Kebijakan Transportasi Online Harus Berbasis Data
Okto R. Manullang dalam kesempatan itu menyampaikan sejumlah pendapat dan usulannya yang berbasis riset mendalam tentang transportasi online di sejumlah negara.
Okto menekankan bahwa kebijakan transportasi online harus berbasis data. "Kredibilitas data adalah ketika data mampu menghadirkan perdebatan demokratis. Jika negara gagal mendaftarkan problematika masyarakat, maka isu tersebut bisa hilang dari agenda kebijakan," ujarnya.
Okto juga menyoroti praktik negara-negara ASEAN dalam mengatur industri ride-hailing. Brunei, Kamboja, dan Myanmar membatasi biaya sewa aplikasi maksimal 10-20 persen, sementara Indonesia menetapkan 15 persen dan 5 persen. "Namun Vietnam memilih menyerahkan tarif komisi pada mekanisme pasar, yakni 20-30 persen, dan Singapura sudah melangkah lebih jauh dengan mengatur pekerja platform," jelasnya.
Dalam konteks Indonesia, ia menegaskan bahwa mitra pengemudi adalah faktor produksi utama di era ekonomi digital. "Formulasi biaya operasional kendaraan (BOK) tidak bisa lagi hanya melihat aspek jarak tempuh. Kita harus mengakui bahwa mitra mengeluarkan investasi mandiri untuk memiliki aset produksinya," katanya. Karena itu, ia mengusulkan perhitungan tarif yang lebih dinamis dengan mempertimbangkan peak, off-peak, serta kondisi lapangan, termasuk surcharge.
Dia mengingatkan perlunya regulasi adaptif yang tidak sekadar formalistik. "Pemerintah tidak cukup hanya menetapkan batas tarif. Pemerintah harus mendefinisikan parameter, kondisi, dan mekanisme penghitungan tarif agar terjadi keseimbangan struktural antara pengemudi, pengguna, dan aplikator," ujarnya.
Ia menutup pemaparannya dengan menekankan bahwa formalisasi gig workers seharusnya fokus pada proteksi sosial, sekaligus mengakomodasi aspek surcharge pricing, platform fee, dan keselamatan, agar tercapai keadilan bagi semua pihak. []
(kil/kil)