Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan pelaku penipuan digital atau scammer berasal dari kalangan anak muda. Hal ini disampaikan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen (PEPK) OJK, Friderica Widyasari Dewi.
Perempuan yang akrab disapa Kiki mengatakan OJK melalui Indonesia Anti-Scam Centre (IASC) terus berupaya meningkatkan penegakan hukum, mulai dari penelusuran transaksi, pemblokiran, penyelidikan dan penyidikan, serta penuntutan. Bahkan pihaknya kini juga sudah mengejar pelaku scammer.
"Kita sudah mengejar pelakunya. Jadi pelaku scammer-scammer tuh ada. Dan kebanyakan anak-anak muda sih, anak-anak remaja-remaja begitu. Dan ada di suatu wilayah yang memang ngumpulnya di situ," ujar Kiki dalam Festival Ekonomi Digital Indonesia (FEKDI) dan Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) 2025 di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (31/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melalui IASC, Kiki menerangkan tidak hanya memblokir aliran dana dan mengupayakan pengembalian uang korban, tapi juga mengejar pelaku. Kendati begitu, waktu pelaporan menjadi faktor krusial dalam menangani penipuan.
Ia menerangkan di luar negeri, masyarakat dapat melapor ke pusat anti-scam dalam waktu 15 menit setelah kejadian terjadi. Sementara di Indonesia, laporan rata-rata baru masuk setelah 17 jam. Hal inilah yang membuat uang korban sudah terlanjur raib.
"Tapi kalau bisa cepat itu banyak sekali yang bisa kita bantu dan sukses kita kembalikan. Walaupun biasanya nggak akan pernah sampai utuh ya kembali. Tapi setidaknya masih ada yang bisa dikembalikan gitu. Tapi kalau sudah lewat hari itu, sudah berat," jelasnya.
Kiki menegaskan OJK bersama Bank Indonesia, perbankan, pasar modal, hingga asosiasi financial technology tengah memperkuat sistem Anti-Scam Center serta sosialisasi edukasi nasional agar masyarakat lebih waspada terhadap berbagai modus kejahatan keuangan digital.
Kiki menambahkan total kerugian masyarakat akibat penipuan dan aktivitas keuangan ilegal telah mencapai Rp 7,3 triliun. Padahal, dana sebesar itu bisa dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Sayang, kalau uang Rp 7,3 triliun itu masuk ke pasar modal bisa buat beli saham, buat perusahaan itu besarkan ya. Kalau masuk ke sistem perbankan, buat dipinjamkan ya ke perusahaan-perusahaan untuk modal dan lain-lain itu luar biasa. Tapi ini hilang menguap karena scam," imbuh ia.
Simak juga Video 'OJK Ajukan Permintaan Blokir 27 Ribu Rekening Terindikasi Judol':
(igo/fdl)







































.webp)













 
             
  
  
  
  
  
  
 