Mencari Skema Monetisasi Emas untuk Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Kolom

Mencari Skema Monetisasi Emas untuk Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Kemal Aditya - detikFinance
Selasa, 04 Nov 2025 11:45 WIB
Ilustrasi emas
Foto: Getty Images/brightstars
Jakarta -

Di Indonesia, emas bukan sekadar perhiasan. Ia adalah tabungan, warisan, dan simbol ketenangan. Bahkan emas saat ini bukan hanya sebagai pelindung kekayaan (wealth protector), tetapi mulai dianggap sebagai pencipta kekayaan baru (wealth creator).

Namun di balik kilaunya, tersimpan ironi: sebagian besar emas di negeri ini justru 'tertidur'. Menurut riset, sekitar 1.800 ton emas ada di tangan masyarakat Indonesia, setara lebih dari Rp 3.600 triliun pada harga hari ini.

Jumlah yang cukup besar, tetapi belum termonetisasi secara produktif. Padahal, bila sebagian dari emas itu bisa diintegrasikan ke sistem keuangan, dampaknya terhadap likuiditas dan pertumbuhan ekonomi nasional akan signifikan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari Emas Tidur ke Aset Produktif

Monetisasi emas berarti mengubah emas yang disimpan pasif menjadi aset yang bisa ikut memutar ekonomi. Masyarakat tidak harus menjual emasnya, cukup menempatkannya dalam sistem keuangan sehingga nilainya produktif bagi pembiayaan dan investasi.

ADVERTISEMENT

Skemanya bisa dalam bentuk gadai emas, sertifikat emas (gold certificate), tabungan emas, pembiayaan beragun emas, bahkan obligasi/sukuk berbasis emas. Dengan cara ini, emas tidak lagi 'tidur' di brankas, tetapi ikut bekerja dalam roda ekonomi.

Mengapa Monetisasi Emas Diperlukan

Banyak negara di dunia memiliki budaya menyimpan emas yang kuat, tetapi belum punya sistem yang mampu memonetisasinya secara luas. Sebagian besar emas masih berputar di sektor konsumtif, seperti perhiasan, dan belum masuk ke lembaga keuangan.

Padahal, monetisasi emas berpotensi:
β€’ Menambah sumber pembiayaan domestik tanpa menambah utang luar negeri,
β€’ Meningkatkan stabilitas keuangan nasional dengan memperluas basis likuiditas non-valas dan melindungi daya beli jangka panjang,
β€’ Memperluas inklusi keuangan karena emas lebih akrab di kalangan masyarakat kecil dibanding produk keuangan formal.
β€’ Mengurangi defisit neraca berjalan yang terjadi akibat impor emas berlebihan.

Belajar dari India: Kesalahan Memahami Psikologi Pasar

India, yang dikenal sebagai 'negara pecinta emas', telah meluncurkan Gold Monetization Scheme (GMS) sejak 2015. Melalui GMS, emas masyarakat dapat dimonetisasi dengan mekanisme:
β€’ Masyarakat menyetorkan emas fisik ke bank melalui pusat pengujian kemurnian emas, yaitu Collection and Purity Testing Centre (CPTC) dan GMS Mobilisation, Collection and Testing Agent (GMCTA).
β€’ Emas masyarakat akan dinilai kemurniannya dan dilebur menjadi emas batangan dengan kadar kemurnian 99,5%.
β€’ CPTC/GMCTA akan menerbitkan tanda terima kepada masyarakat sebagai bukti atas kepemilikan emas untuk kemudian diserahkan kepada bank.
β€’ Masyarakat akan menerima sertifikat emas (Gold Certificate) yang diterbitkan oleh bank sebagai bukti pembukaan rekening simpanan/deposito emas. Sertifikat emas menjadi surat kepemilikan yang dapat diperdagangkan/dipindah tangankan.
β€’ Masyarakat menerima imbal hasil tahunan dari hasil penggunaan emas tersebut.

Emas yang terkumpul digunakan kembali oleh perbankan dan lembaga keuangan sebagai underlying untuk pembiayaan, ekspor, atau cadangan devisa. Pemerintah India juga meluncurkan Sovereign Gold Bond (SGB), obligasi berbasis emas yang memungkinkan masyarakat berinvestasi tanpa perlu memegang emas fisik.

Meskipun demikian, 10 tahun setelah diluncurkan, GMS hanya mampu memonetisasi sekitar 30 ton emas. Nilai yang kecil jika dibandingkan jumlah emas tertidur di India sekitar 24.000 ton.

Partisipasi masyarakat cukup rendah, sehingga skema GMS ini dihentikan pada Maret 2025. Penerbitan SGB juga dihentikan karena biaya yang tinggi akibat kenaikan harga emas belakangan ini.

Proses peleburan emas dalam GMS menciptakan keraguan pada hati masyarakat di India karena seolah 'menghancurkan' nilai budaya dan emosional yang terkandung dalam emas tersebut. Di samping itu, keterbatasan jumlah pusat pengujian kemurnian emas dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi menghambat proses monetisasi emas di India.

Belajar dari Turki: Mendorong Strategi Monetisasi Berbasis Pasar

Riset menunjukkan terdapat sekitar 3.000 ton emas yang "tertidur" di Turki. Perjalanan monetisasi emas di Turki dimulai sejak 2011. Berbeda dengan India, di Turki proses konversi emas fisik masyarakat menjadi rekening simpanan emas di Bank tidak melibatkan pihak ketiga seperti CPTC/GMCTA, melainkan bipartit antara Bank dan refineries.

Bank komersial secara aktif menjadwalkan Gold Collection Days, sebuah praktik yang memungkinkan nasabah untuk mengkonversi emas fisik menjadi rekening emas ekuivalen 24 karat dengan mendatangi kantor bank-bank terkait.

Oleh bank, emas tersebut akan disalurkan dalam gold lending (pembiayaan emas), dipakai sebagai pemenuhan kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM), atau aktivitas lainnya.

Kurang dari 2 tahun setelah program monetisasi emas, 40 ton emas yang "tertidur" berhasil diintegrasikan ke dalam sistem keuangan. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari beberapa faktor, yaitu:
β€’ Kebijakan Reserve Option Mechanism (ROM) Bank Sentral yang mengizinkan emas digunakan sebagai komponen pemenuhan GWM.
β€’ Perizinan kepada bank komersial untuk melakukan aktivitas jual-beli emas.
β€’ Ketersediaan jaringan refineries dengan akreditasi LBMA (good delivery) yang bekerja sama dengan bank.
β€’ Pendirian Istanbul Gold Exchange (IGE) untuk memberikan dukungan produk dan menciptakan ekosistem transaksi emas yang lebih seamless.

Skema Monetisasi Emas di Indonesia

Dalam skema monetisasi emas di Indonesia, Lembaga Jasa Keuangan (LJK) Kegiatan Usaha Bulion diberi peran penting sebagai pengelola dan penyalur likuiditas berbasis emas di pasar finansial. Sesuai amanat UU P2SK, OJK telah mengeluarkan POJK NO.17 tahun 2024 tentang Penyelengaraan Kegiatan Usaha Bulion yang mengatur tahapan kegiatan usaha bulion.

Produk seperti gadai emas, jual-beli emas, titipan emas, deposito emas, dan pembiayaan emas serta pembiayaan berbasis agunan emas merupakan ragam produk monetisasi emas yang saat ini dapat diakses oleh masyarakat Indonesia. OJK juga tengah mengembangkan produk ETF emas dan menurut kabar akan menambah jumlah LJK bulion.

Indonesia memadukan skema monetisasi emas dengan ragam produk yang sesuai dengan prinsip syariah, sehingga inklusi keuangan berjalan dengan lebih baik. Ini sekaligus menjadi nilai tambah bagi pengembangan pasar keuangan syariah di Indonesia.

Selain belajar dari model Turki, India dan negara lainnya, maka untuk meningkatkan partisipasi dalam program monetisasi emas, maka perlu diciptakan:
β€’ Insentif bagi masyarakat, baik itu berupa kemudahan akses, produk yang variatif, proses yang mudah dan insentif keuangan yang proporsional,
β€’ Infrastruktur bagi LJK bulion agar mampu mengelola aset dan liabilities emas dengan lebih baik, termasuk akses pada transaksi lindung nilai, supply emas, kerangka aturan yang jelas serta manajemen risiko yang komprehensif,
β€’ Jaringan refinery- assaying yang memadai dan bekerjasama dengan LJK bulion serta sesuai standar internasional, agar emas Indonesia terjaga kualitas dan keamanannya,
β€’ Vaulting (penyimpanan) dan pencatatan yang aman.
β€’ Harga emas domestik yang lebih likuid dengan keseimbangan supply dan demand emas dalam negeri

Potensi Dampak bagi Ekonomi dan Tantangan Monetisasi Emas

Bila sebagian saja dari total 1.800 ton emas bisa dimonetisasi ke sistem, ini cukup menjanjikan. Tantangannya adalah membangun jembatan antara kepemilikan emas masyarakat dan sistem keuangan nasional.

Tantangan lain adalah jika masyarakat justru mengalihkan dana rupiah ke dalam bentuk simpanan emas di LJK bulion, maka uang beredar dalam bentuk rupiah berkurang dan bisa mengurangi velocity of money.

Dalam skala besar, ketika masyarakat lebih memilih menyimpan kekayaannya dalam bentuk emas, maka transmisi kebijakan moneter lewat jalur suku bunga menjadi kurang efektif. Oleh karenanya LJK bullion harus dapat menyalurkan kembali emas menjadi aset produktif melalui produk pembiayaan dan pasar modal.

Bank sentral bisa memandang emas sebagai aset likuid untuk memperkuat cadangan devisa tidak langsung. Model Turki juga bisa dikaji yaitu penggunaan emas untuk memenuhi kewajiban GWM bank. Bank sentral bisa tetap memperhitungkan ekuivalen Rupiah atas simpanan emas on-balance sheet bank sebagai bagian dari pemenuhan GWM bank dan perhitungan rasio LDR/FDR.

Dalam jangka panjang, bank sentral dapat mengembangkan pasar emas antar LJK bulion dan bertindak sebagai lender of last resort. Misalnya melalui produk Gold Repo, gold swap atau penempatan/peminjaman emas lewat bank sentral.

Apabila tantangan ini terjawab, maka monetisasi emas dapat menjadi instrumen pembiayaan nasional berbasis kekayaan rakyat. Tentunya ini proses rumit yang membutuhkan waktu dan usaha keras untuk sukses. Ini dapat menjadi salah satu strategi kedaulatan ekonomi, yaitu cara bangsa ini memanfaatkan kekayaan yang sudah ada di tangan rakyat untuk membangun masa depan ekonomi yang lebih mandiri.

Kemal Aditya
Bankir dan praktisi keuangan syariah.

Tonton juga video "Kenapa Harga Emas Bisa Melambung Tinggi?"

Halaman 2 dari 3
(ang/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads