Perjanjian dagang Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) telah diteken pada September 2025. Melalui perjanjian dagang yang akan berlaku 2027 itu, sebanyak 98% barang Indonesia akan bebas tarif masuk ke Uni Eropa.
Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti menyampaikan kemitraan strategis seperti IEU-CEPA menjadi instrumen penting untuk memastikan keterbukaan perdagangan tetap terjaga. Melalui perjanjian ini, akses pasar akan semakin luas dan menciptakan kepastian berusaha bagi pelaku ekonomi di kedua belah pihak.
"Jika kita ingin memperkuat perdagangan dan daya saing, kita harus menghadapi proteksionisme dengan kolaborasi yang lebih dalam. IEU-CEPA adalah bukti nyata bahwa kerja sama dapat membangun kepercayaan, menciptakan kepastian usaha, dan memastikan tidak ada pihak yang dirugikan," ujar Roro Esti, dalam keterangannya, dikutip Senin (10/11/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut disampaikan Roro dalam sambutannya pada acara CSIS Strategic Dialogue bertema "Trade and Competitiveness in a Changing Global Landscape: Building a Stronger Economic Partnership Between Europe and Indonesia" yang digelar di Jakarta, Selasa (4/11).
Roro menambahkan, Indonesia dan Uni Eropa masih memiliki potensi yang dapat dimaksimalkan. Kementerian Perdagangan mencatat, total perdagangan Indonesia-UE mencapai US$ 30,4 miliar pada 2024 dengan tingkat tren kenaikan 6,2%. Selain perdagangan, UE tercatat sebagai sumber investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) terbesar ke-6 bagi Indonesia dengan total investasi mencapai US$ 3,5 miliar.
Lebih jauh, Ia menekankan bahwa IEU-CEPA bukan sekadar perjanjian perdagangan, tetapi juga bentuk kemitraan strategis yang berlandaskan nilai bersama, kerja sama, keberlanjutan, dan pertumbuhan inklusif.
Roro Esti juga menyoroti pentingnya menyeimbangkan antara perdagangan dan isu perubahan iklim. Menurutnya, dunia kini menghadapi tantangan ganda, pertama menjaga pertumbuhan ekonomi dan kedua sekaligus memastikan keberlanjutan lingkungan.
Dia juga bilang bahwa perlunya dukungan bagi negara berkembang seperti Indonesia agar dapat menjalankan transisi hijau tanpa mengorbankan kemajuan ekonomi dan arus perdagangan.
"Kita semua ingin terus berdagang dan berbisnis, namun kita juga harus memastikan bahwa kegiatan ekonomi kita tidak merusak lingkungan. Diperlukan asistensi dan kerja sama agar transisi menuju ekonomi hijau tidak menghambat perdagangan global," jelasnya.
Menurutnya penting penyelarasan kebijakan perdagangan dan lingkungan antara Indonesia dan Uni Eropa, termasuk dalam menghadapi kebijakan baru seperti EU Deforestation Regulation (EUDR) dan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). Ia menyebut, regulasi tersebut perlu dijalankan dengan semangat kolaboratif agar tujuan mitigasi perubahan iklim tidak menjadi hambatan baru dalam perdagangan internasional.
Pemerintah berharap Indonesia dan Uni Eropa dapat memperdalam kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan, memperkuat daya saing global, serta menjadi contoh nyata bagaimana perdagangan dan keberlanjutan dapat berjalan seiring dalam membangun masa depan ekonomi yang hijau dan inklusif.
"Kita perlu memastikan bahwa upaya mitigasi iklim tidak menghambat kemajuan perdagangan, melainkan justru memperkuat komitmen bersama menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," tegasnya.











































