Di antara riuh percakapan tentang ketahanan dan swasembada pangan nasional, ada satu wilayah yang kerap luput dari sorotan, yakni pesisir. Padahal, Indonesia punya potensi besar mewujudkan swasembada pangan lewat sumber daya perikanannya atau biasa disebut pangan biru.
Pangan biru merupakan sumber pangan yang berasal dari perairan mulai dari sungai hingga laut, baik perikanan budidaya maupun perikanan darat dan laut.
Sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, Indonesia menyimpan potensi perikanan dan kelautan yang besar bisa merealisasikan mimpi swasembada pangan melalui pangan biru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mimpi itu kini tengah dirajut kembali lewat pembangunan dari wilayah pesisir pada program Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP). Tak cuma sekadar bisa swasembada pangan, program ini diyakini mampu mendorong ekonomi Indonesia tumbuh hingga 8%, bahkan lebih.
Harapan dari Pesisir
Optimisme tersebut disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono. Lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu punya keyakinan kuat, program KNMP bisa menyumbang kontribusi signifikan buat ekonomi Indonesia.
"Khusus di (swasembada) pangan, kami bisa punya kontribusi signifikan di protein." katanya kepada detikcom, beberapa waktu lalu.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, dalam program Jejak Pradana detikcom. Foto: Rifkianto Nugroho |
Keyakinan Trenggono diawali dari penelusurannya pada sejumlah negara pesisir dunia yang berhasil membangun ekonomi negaranya dengan pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan berkelanjutan. Praktik yang dilakukan negara-negara seperti Jepang, Norwegia, Denmark, Swedia, hingga Australia menjadi contoh sukses yang ingin diduplikasi di Tanah Air.
Dari hasil penelusuran tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membangun sebuah kampung nelayan modern terintegrasi di wilayah pesisir Papua. Desa Samber-Binyeri di Biak Numfor menjadi wilayah percontohan konsep kampung nelayan modern yang dibangun terintegrasi dengan segala kebutuhan melaut hingga memasarkan hasil tangkapan.
Di sana dibangun fasilitas produksi seperti pabrik es, cold storage, stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBUN), shelter pendaratan ikan, bengkel nelayan, hingga kios perbekalan nelayan. Kampung nelayan juga dilengkapi dengan infrastruktur pendukung seperti tambatan perahu, jalan, ipal, bale, dan lainnya.
Selain itu, fasilitas pendukung ekonomi dan sosial seperti sentra kuliner, balai pelatihan nelayan, docking kapal, dan kantor pengelola koperasi desa ikut dibangun demi mendukung kelancaran operasional nelayan dari sebelum hingga setelah melaut.
Dibangunnya ekosistem terintegrasi mulai dari perbekalan hingga pemasaran dan pemeliharaan di satu kawasan diyakini akan menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi dan optimal bagi nelayan dan masyarakat pesisir.
"Kalau ini terjadi, ekonominya akan tumbuh luar biasa, saya meyakini." ujar Trenggono.
Trenggono menyadari selama ini nelayan atau masyarakat pesisir cuma jadi objek pasif yang kurang berdaya. Namun, terbangunnya kampung nelayan modern yang terintegrasi dari hulu ke hilir diharapkan mampu membawa masyarakat pesisir naik level dan jadi aktor utama pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan.
"Ini yang kami berdayakan. Kami belajar dari negara-negara maju, yang harus diperbaiki adalah sarana dan prasarana produksi mereka yang sudah turun temurun melaut. Pemerintah harus turun tangan." katanya.
Produktivitas nelayan terbukti melesat setelah kampung nelayan tersebut dibangun. Dalam setahun, Trenggono bilang produktivitas nelayan di Biak naik hingga 100%.
Sejak diresmikan, Kampung Nelayan di Desa Samber-Binyeri telah berkali-kali mengirimkan kontainer ikan ke Pulau Jawa. Hingga Juni 2025, Kampung Nelayan di Biak telah mengirim total ikan sebanyak 153,82 ton dengan nilai Rp 2,456 miliar.
Hal ini juga diakui oleh Ortisan Miokbun, nelayan di Desa Samber-Binyeri, Biak. Dia bilang, kehadiran kampung nelayan yang terintegrasi memperlancar operasional melaut sehingga meningkatkan produktivitas.
"Sebelum ada kampung nelayan ini, hasil ikan dijual di pasar. Beli BBM, es, perlengkapan mancing di kota. Tapi setelah ada ini, semua jadi tersedia. Beli BBM nya di sini, es nya di sini, perlengkapan melaut di sini, jadi semua di sini. Enak sekali." katanya.
Kampung Nelayan Modern Biak, Papua Foto: Achmad Dwi Afriyadi/detikcom |
Kampung Nelayan Modern kini bertransformasi menjadi Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP). Konsepnya tetap sama, namun ada sejumlah perubahan yang dilakukan sebagai bagian dari evaluasi program sebelumnya.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, bilang, salah satu perubahan yang dilakukan adalah dengan penerapan teknologi rantai dingin yang lebih canggih. Pasalnya, selama ini hasil produksi laut nelayan sulit menjangkau pasar ekspor yang lebih luas lantaran penyediaan rantai dingin yang kurang baik.
KKP menerapkan teknologi rantai dingin yang lebih canggih agar kualitas ikan dapat dipertahankan. Salah satunya dengan penyediaan slurry ice. Slurry ice adalah es berbentuk campuran butiran es mikro dengan air asin yang sangat dingin. Teknologi ini menjadi salah satu inovasi rantai dingin yang efektif untuk menjaga mutu dan kesegaran ikan lebih lama dibandingkan es biasa.
"Selama ini kita salah kalau menggunakan es-nya dari air tawar. Di Biak begitu, kualitasnya lumayan tapi kurang bagus. Ini hasil evaluasi, belajar, riset, benchmarking." jelas Trenggono.
Ke depan, KKP akan bergerak membangun pabrik slurry ice di lokasi KNMP. Kehadirannya diharapkan membantu nelayan menjaga kualitas hasil tangkapan, meningkatkan daya saing produk perikanan, sekaligus memberi nilai tambah bagi kesejahteraan pelaku usaha di daerah.
Dari Papua ke Seluruh Indonesia
Model kampung nelayan terintegrasi yang berhasil dibangun di Biak, Papua, kini tengah diduplikasi ke seluruh Indonesia. Trenggono menyebut, KKP akan membangun hingga 100 KNMP dalam waktu enam bulan ke depan.
Tak berhenti di situ, KKP menargetkan akan ada 4.100 kampung nelayan merah putih yang terbangun hingga 2029 nanti. Artinya, setiap tahun KKP akan membangun setidaknya 1.000 KNMP dari Sabang sampai Merauke.
Selain untuk ekspor dan penjualan di dalam negeri, hasil produksi nelayan di KNMP juga akan diserap untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). Sedangkan dukungan operasional nelayan akan dibantu dengan hadirnya Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.
"Kita bangun ekosistem. Once itu berhasil, sebetulnya itu sudah solusi everything. Kalau 'rumah'-nya jelek, kita bagusin, nggak kasih apa-apa. Tapi kalau sarana prasarana untuk mereka bekerja mampu kita siapkan dan mereka jadi produktif, itu dampaknya." kata Trenggono.
Adapun pembangunan KMNP dilakukan berdasarkan pendekatan karakteristik dan potensi wilayahnya. Untuk memastikan pembangunan tepat sasaran, penetapan lokasi KNMP dilakukan jika terdata 80% dari total populasi masyarakat wilayah tersebut bekerja di laut.
Program KNMP juga akan mengandalkan pembiayaan inovatif yang bersumber dari APBN dan Danantara. Rencananya, sumber pembiayaan tersebut akan dibagi rata dari keduanya.
"Anggaran 100 (KMNP) pertama ini full dari APBN. Nanti yang 1.000 itu kombinasi antara APBN dan Danantara. Porsinya 50-50." jelas Trenggono.
Untuk 100 KMNP pertama yang mulai dibangun tahun 2025, KKP menyiapkan anggaran Rp 2,2 Triliun.Dari 100 titik yang dibangun tersebut, KKP memproyeksi akan ada penyerapan tenaga kerja hingga 7 ribu orang dalam masa pembangunannya.
Trenggono meyakini, dampak fantastis yang sudah dirasakan di Biak dapat diduplikasikan di daerah lainnya. Bahkan dari hasil cemerlang yang terjadi di Biak, Trenggono bilang sejumlah pengusaha juga akan membangun model yang sama di 10 titik sejauh ini.
"Saya terus terang surprised, baru saya bikin satu model ini saja, ada konglo besar yang ternyata sekarang ambil ikan dari sana, dan ikut berminat bangun kampung nelayan. Itu artinya ini dianggap punya potensi yang sangat bagus." kata Trenggono.
Berkaca dari tingkat produktivitas yang naik dua kali lipat di Biak, Trenggono optimistis program KMNP dapat berkontribusi signfikan buat pencapaian mimpi swasembada pangan protein dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Bahkan kalau ini masif dari 12 ribu desa kita perbaiki semua, rasanya kita akan sama kayak China lho, kuat sekali. Saya punya feeling seperti itu." katanya.
Foto udara pembukaan lahan untuk pembangunan fasilitas Kampung Nelayan Modern di Tanjung Banun, Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (29/10/2025). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan Pulau Kasu, Sekanak Raya dan Tanjung Banun sebagai lokasi tahap pertama program nasional Kampung Nelayan Modern dengan fasilitas stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPDN), cold storage, pabrik es, gudang, bengkel perahu, hingga gerai alat tangkap dengan total anggaran sebesar Rp35 miliar yang ditargetkan selesai pada akhir Desember 2025. ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/rwa. Foto: ANTARA FOTO/Teguh Prihatna |
Swasembada dan Keberlanjutan
Indonesia menghadapi perjuangan yang cukup kompleks dalam upaya mencapai swasembada pangan di bidang protein, khususnya protein hewani maupun nabati. Swasembada pangan tidak hanya bicara tentang kecukupan pasokan, tapi juga kemampuan bangsa memenuhi kebutuhan gizi secara mandiri dari sumber daya dalam negeri.
Tantangan utama dalam ketahanan pangan saat ini tak cuma terletak pada ketersediaan pangannya, namun juga kualitas konsumsi, khususnya dalam pemenuhan asupan protein hewani dan nabati yang seimbang dan berkelanjutan.
Menurut data Badan Pangan Nasional (Bapanas)/National Food Agency (NFA), konsumsi protein dalam negeri masih didominasi oleh sumber padi-padian sebesar 42,8%, sementara pangan hewani berkontribusi 36,5% dan kacang-kacangan 10,8%.
Padahal, konsumsi protein harian idealnya mencakup 35 gram protein nabati dan 22 gram protein hewani per kapita. Realisasi konsumsi protein nasional pun belum sepenuhnya mencapai target RPJMN sebesar 62,5 gram per kapita per hari.
"Kita menghadapi kenyataan bahwa konsumsi protein masyarakat Indonesia masih belum ideal. Padahal, protein merupakan komponen penting untuk mencegah stunting, meningkatkan produktivitas sumber daya manusia, dan menjaga stabilitas sosial-ekonomi, khususnya di pedesaan," ujar Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan Bapanas, Rinna Syawal, dalam Forum Integrator Horizontal Industri Pangan Bangsa di Jakarta, Kamis (10/7) lalu.
Belum lagi bicara soal pangan biru yang mengedepankan keberlanjutan. Jika KNMP berhasil menciptakan swasembada protein hewani nasional, KKP sebagai regulator diharapkan juga dapat menjaga keberlanjutan produksi tangkapan dari laut. Ekonom Celios, Nailul Huda, mengatakan kontribusi ekonomi sektor perikanan, baik tangkap maupun budidaya yang saat ini cenderung menurun tengah jadi persoalan.
Contohnya pada 2024, meski realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam perikanan meningkat, namun kontribusi sektor ini terhadap perekonomian nasional justru tengah menurun tajam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) perikanan pada 2024 hanya 0,68%, turun drastis dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 5,49%.
Tekanan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya ikan ditenggarai menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu, nelayan masih kerap dihadapkan pada persoalan kenaikan harga bahan bakar, serta tingginya biaya operasional kapal.
"Contohnya adalah terkait dengan banyak wilayah yang masuk dalam overfishing. Penangkapan di daerah tersebut sudah melebihi batas yang seharusnya. Akibatnya, terjadi kerusakan-kerusakan yang menyebabkan produksi menurun." jelas Huda.
Ditambah fakta bahwa selama ini potensi strategis ekonomi laut Indonesia belum dapat menyejahterakan nelayan dan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya dari laut lebih optimal. Alhasil, wilayah pesisir masih kerap tampil dalam potret kemiskinan.
Data BPS per Maret 2022 menunjukkan bahwa ada 3,9 juta orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir. Sebanyak 17,74 juta orang di wilayah pesisir dikategorikan sebagai miskin, sementara terdapat 8,4 juta orang miskin di wilayah nonpesisir.
Huda menyadari, program KNMP memang mencoba hadir menjawab masalah dan tantangan tersebut. Namun keberlanjutan ekosistem untuk jangka menengah dan panjang juga perlu diperhatikan sehingga ekonomi masyarakat pesisir dapat berdaya secara terus menerus.
"Dalam jangka pendek memang sangat membantu terutama terkait dengan kualitas hasil tangkapan. Tapi jika sudah tidak ada ikan yang ditangkap, mau ke mana lagi?" kata Huda.
Huda menyarankan, KNMP harus memasukkan paradigma pembangunan jangka menengah dan panjang sebagai bagian pembangunan sektor pesisir yang inklusif dan berkelanjutan. Selain menitikberatkan pada pengembalian habitat alam yang sudah mulai rusak, akses masyarakat pesisir terhadap pendidikan dan layanan kesehatan dasar yang terbatas juga harus terus ditingkatkan.
"Dengan pembangunan yang berkelanjutan, nasib nelayan di masa depan juga akan terjamin." tutupnya.
Tonton juga video "Pembukaan Capacity Building Kampung Nelayan Merah Putih Warnai HUT ke-26 KKP"
(eds/eds)













































