Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat kesenjangan kepatuhan atau compliance gap di Indonesia terhadap pajak masih tinggi. Data terakhir yang merujuk pada Bank Dunia (World Bank) untuk periode 2016-2021 mencapai Rp 548 triliun atau setara 3,7% dari produk domestik bruto (PDB).
Direktur Jenderal Pajak Bimo Bimo Wijayanto mengatakan compliance gap mencerminkan potensi ketidakpatuhan wajib pajak, penghindaran pajak dan penggelapan pajak.
"Compliance gap ini sebesar 3,7% atau Rp 548 triliun. Hal ini mencerminkan potensi-potensi ketidakpatuhan, penghindaran pajak dan juga penggelapan pajak," kata Bimo dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Jakarta, Rabu (26/11/2025).
Baca juga: Harga Emas Antam Turun Tipis Jadi Segini |
Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan dengan policy gap atau nilai pajak yang tidak terpungut karena kebijakan seperti insentif yang sebesar Rp 396 triliun atau setara 2,7% PDB.
"Policy gap ini merupakan cerminan dari potensi kehilangan penerimaan pajak akibat kebijakan fiskal, di antaranya pengecualian pajak, tarif khusus, insentif," ucap Bimo.
Untuk meminimalkan compliance gap, Bimo menyebut DJP telah mendesain strategi peningkatan kepatuhan dengan implementasi penegakan hukum yang lebih tertarget.
Selain itu, menerapkan compliance risk management untuk mengurangi compliance gap tanpa membebani wajib pajak yang sudah patuh. Adapula strategi soft engagement melalui edukasi untuk mengurangi ketidakpatuhan akibat ketidakpahaman wajib pajak dalam menunaikan pembayaran pajaknya ke negara.
"Kemudian memperkuat digitalisasi administrasi kita e-faktur, e-bukti potong, e-filing dan lain-lain kemudian implementasi Coretax, pemadanan NIK-NPWP dan single profile untuk meningkatkan basis pajak, kemudian pertukaran informasi automatic exchange of information (AEoI)," jelas Bimo.
Simak juga Video Purbaya: Saya Pegang Langsung Pajak-Bea Cukai daripada Pusing
(acd/acd)