×
Ad

Zulhas Jawab Tudingan Penyebab Banjir di Sumatera

Aulia Damayanti - detikFinance
Selasa, 09 Des 2025 05:55 WIB
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas).Foto: Andhika Prasetia/detikcom
Jakarta -

Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menjawab tudingan menjadi penyebab bencana banjir di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat.

Mantan Menteri Kehutanan periode 2009-2014 itu juga sempat dikaitkan dengan bencana banjir di Malaysia dan Thailand.

Menurut Zulhas tudingan itu terkait izin pembukaan lahan di Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo di Riau. Sementara di Riau tidak mengalami bencana alam.

"Yang dipermasalahkan Kepada Zulkifli Hasan Tesso Nilo di Provinsi Riau. Sementara Provinsi Riau itu tidak ada bencana apapun. Tapi Bencana itu (Aceh hingga Sumatera Utara) yang salah Zulkifli Hasan, termasuk di Thailand dan Malaysia. Ya nggak apa-apa, saya maafkan," ujar Zulhas di sela-sela acara BIG Conference, Raffles Hotel, Jakarta, Senin (8/12/2025)..

Selain itu, Zulhas mengatakan tidak ada Menteri Kehutanan periode manapun, termasuk selama dirinya menjabat, memberikan izin pembukaan lahan pada Taman Nasional Tesso Nilo.

Menurutnya, jika ada yang berani, maka melakukan perbuatan pidana.

"Tidak ada Menteri Kehutanan yang berani memberi izin, nggak ada. Tidak hanya saya, Menteri Kehutanan mana pun nggak mungkin berani kasih izin di Tesse Nilo. Kalau kasih izin di Tesso Nilo, maka dia masuk penjara, langsung. Karena pidana," jelasnya.

Zulhas menjelaskan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo rusak Zulhas karena sejak era reformasi telah diserbu masyarakat.

Ketika dirinya ditanya oleh Amerika Serikat (AS), mengapa tidak menindak serbuan tersebut, Zulhas menyebut itu merupakan ranah penegak hukum.

"Kok Tesso Nilo nya rusak? Lah waktu reformasi diserbu. Di situ ada 50 ribu masyarakat sekarang. Terus salahnya Zulkifli Hasan apa? Kata orang salah semuanya. Ya saya terima aja, nggak apa-apa," tutur Zulhas.

Bantah Beri Izin 1,6 juta hektare lahan hutan jadi kebun Sawit

Zulhas juga membantah memberikan izin 1,6 juta hektare (ha) lahan hutan menjadi kebun sawit. Ia menjelaskan tidak ada izin pembukaan lahan baru untuk lahan sawit, tetapi memberikan kepastian tata ruang baik bagi Kabupaten hingga Desa di Riau.

Dia menjelaskan sejak zaman kerajaan, perkampungan atau desa telah ada. Kemudian terjadi pemekaran baik menjadi kabupaten baru, kota baru, hingga pembangunan jalan baru. Padahal, dalam catatan pemerintah masih tercatat sebagai kawasan hutan, namun telah berubah fungsi.

Sebanyak 1,6 juta ha hutan itu diberikan status bukan kawasan hutan karena memang telah terjadi pemekaran tersebut. Zulhas penandatanganan diberikan atas permintaan dari pemerintah daerah.

"Namanya tata ruang, rencana tata ruang agar ada kepastian hukum bagi masyarakat atas permintaan tokoh masyarakat tokoh adat, bupati, gubernur masyarakat luas. Dilihat tidak ada izin baru. Itulah yang 1,6 juta untuk kepastian ruang,"

Mengutip dari detiknews, Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto menjelaskan pelepasan 1,6 juta ha kawasan hutan m mempunyai dasar hukum SK Menteri Kehutanan No. 673/Menhut-II/2014 dan SK 878/Menhut-II/2014. Kebijakan yang ditandatangani Zulhas pada akhir masa jabatannya tersebut adalah keputusan tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan.

Hadi mengatakan dalam SK Menhut tersebut, tidak ada klausul pemberian izin baru bagi perusahaan untuk membuka hutan lindung. Kebijakan tersebut diambil untuk menyesuaikan kondisi de facto di lapangan.

"SK tersebut sebagai bantuk respons pemerintah pusat atas surat usulan resmi dari: gubernur, bupati, wali kota, dan aspirasi masyarakat se-Riau. Penyerapan usulan atau aspirasi ini bertujuan memberikan kepastian ruang pembangunan daerah," tulis dia.

Objek Lahan yang Dilepaskan

Lahan yang dilepaskan tersebut atas kepentingan tata ruang, di antaranya:

•⁠ ⁠Permukiman Penduduk: desa, kecamatan, hingga perkotaan padat penghuni.

•⁠ ⁠Fasilitas Sosial & Umum: jalan provinsi/kabupaten, sekolah, rumah sakit, tempat ibadah.

•⁠ ⁠Lahan Garapan Masyarakat: area pertanian & perkebunan rakyat turun-temurun.

Angka 1,6 juta hektare hutan yang dibuka sering dikaitkan dengan deforestasi dan bencana ekologis seperti banjir. Narasi tersebut sering mengabaikan bahwa kebijakan ini untuk memutihkan status permukiman & fasilitas umum yang sudah terlanjur ada, bukan membuka hutan primer untuk industri besar.

Perdebatan publik muncul karena detail teknis sering diabaikan sehingga menjadi distorsi informasi. Kebijakan tata ruang era itu dituding pro-industri, padahal konteksnya adalah penyesuaian tata ruang dan legalisasi keterlanjuran.




(hns/hns)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork