Presiden Prabowo Subianto belum juga menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur soal upah minimum. Pengumuman kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sudah mundur dari jadwal yang seharusnya dilakukan paling lambat pada 21 November.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengaku curiga ada kepentingan politik di balik ini. Ia juga menduga UMP tahun 2026 akan naik serentak seperti pada kenaikan UMP tahun 2025 yang diputuskan naik di angka 6,5%.
"Saya curiga ada pembisik presiden sengaja 'buying time untuk kepentingan politis' skenariokan kenaikan upah akan diputuskan presiden sama rata kembali," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (12/12/2025).
Ristadi mengatakan, sejak akhir November dirinya sudah mendapatkan informasi bahwa aturan baru tentang upah minimum yang memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan disparitas upah antar daerah sudah selesai di level kementerian terkait. Poin tersebut lantas dikirim ke Prabowo untuk disahkan dalam bentuk PP.
"Namun hingga kini belum ada kabar kepastian kapan akan disahkan, padahal Upah Minimum 2026 sudah harus berlaku mulai 1 Januari 2026," kata Ristadi.
Menurutnya, PP tentang upah minimum ditunggu-tunggu oleh daerah untuk dijadikan pedoman dalam hal melakukan pengkajian dan penghitungan kenaikan oleh masing-masing Dewan Pengupahan Daerah. Nantinya usulan tersebut akan direkomendasikan kepada Gubernur untuk kemudian disahkan.
Ristadi mengatakan, proses pengkajian dan penghitungan kenaikan upah minimum oleh Dewan Pengupahan Daerah hingga disahkan Gubernur butuh waktu memadai agar hasilnya lebih obyektif dan akomodatif. Dengan waktu yang semakin ke tanggal 1 Januari 2026 namun regulasinya belum juga disahkan.
"Saya mencurigai ini ada pembisik Presiden yang sengaja 'buying time' sehingga nantinya kenaikan Upah Minimum akan diambil alih diputuskan kembali oleh Presiden melalui hak diskresinya dengan hanya melakukan negosiasi dengan beberapa Pimpinan Buruh. Dengan alasan waktu yang sudah mendesak tidak mungkin lagi dibahas dan dirundingkan di daerah-daerah," bebernya.
Menurutnya hak diskresi memang dibolehkan, tapi jika dilakukan kembali untuk kenaikan upah minimum maka ada beberapa dampak yang akan terjadi, seperti:
1. Secara 'de facto' kenaikan upah minimum diputuskan oleh Presiden, padahal aturanya masih berlaku Gubernurlah yang memutuskan berapa kenaikan upah minimum atas rekomendasi Dewan Pengupahan daerah masing-masing.
2. Akan berpotensi abaikan prinsip-prinsip rasionalitas data dan tidak bisa dijelaskan secara kajian ilmiah seperti kenaikan upah minimum tahun 2025 ini sebesar 6,5%.
3. Hanya akan jadi panggung 'entertain politis' saja oleh Presiden dan pimpinan buruh yang berkepentingan politis.
4. Jika kemudian ditetapkan kenaikannya satu angka sama rata se-Indonesia, maka disparitas/kesenjangan upah minimum antar daerah semakian tinggi, ini tidak adil bagi pekerja dan tidak sehat untuk persaingan dunia usaha.
"Oleh karena itu saya mendesak agar Presiden segera sahkan PP tersebut juga meminta Menteri-menteri bidang ekonomi untuk tidak hanya sekedar menunggu saja, tapi ingatkan Presiden untuk segera mengesahkan aturan kenaikan upah minimum yang sesuai putusan MK dan mempertimbangkan disparitas upah antar daerah," tutupnya.
Lihat juga Video: Buruh Ancam Mogok Nasional Jika Tuntutan UMP 2026 Diabaikan!
(ily/ara)