Sulitnya mencari pekerjaan bukan hanya menjadi keluhan masyarakat Indonesia saja. Lulusan perguruan tinggi di Amerika Serikat (AS) pun mengalami kesulitan yang sama.
Studi menunjukkan para mahasiswa yang baru saja meraih ijazah tengah menghadapi salah satu pasar kerja terberat dalam satu dekade.
"Saat ini adalah masa yang sangat sulit untuk mencari pekerjaan," ujar Cory Stahle, ekonom senior di Indeed Hiring Lab, dilansir dari CNBC, Sabtu (13/12/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan berbagai indikator, pasar tenaga kerja sebetulnya masih tumbuh relatif kuat. Perekonomian AS menambah lebih banyak lapangan kerja daripada yang diperkirakan pada bulan September, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS.
Namun, anehnya tingkat pengangguran secara keseluruhan naik tipis menjadi 4,4%. Lebih rinci, untuk pekerja yang lebih muda di rentang usia 16 hingga 24 tahun, tingkat pengangguran mencapai 10,4% pada bulan September.
Oxford Economics menyebutkan mencari kerja saat ini merupakan tantangan besar bagi Generasi Z yang baru memasuki dunia kerja.
"Meningkatnya pengangguran di kalangan muda bisa menjadi indikator awal bahwa ekonomi sedang melambat atau bahkan menuju resesi," kata Anders Humlum, asisten profesor ekonomi di Universitas Chicago.
Gelar sarjana sering dianggap sebagai jalur terbaik menuju pekerjaan bergaji tinggi, namun hal itu mungkin tidak lagi seakurat dulu. Meski sudah bergelar, mencari kerja tak selalu menjadi hal yang mudah.
"Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, gelar sarjana tidak lagi dapat diandalkan untuk mendapatkan pekerjaan profesional," ujar Gad Levanon, kepala ekonom di Burning Glass Institute.
Biang Kerok Susah Cari Kerja
Bagi lulusan perguruan tinggi baru, kesulitan mencari kerja ada di depan mata. Banyak hal yang jadi biang keroknya, salah satunya kemunculan kecerdasan buatan alias artificial inteligence (AI).
Beberapa perusahaan besar mengatakan mereka mulai mengganti pekerja tingkat pemula dengan kecerdasan buatan untuk merampingkan operasional dan memangkas biaya.
Kekhawatiran terhadap ekonomi, inflasi yang terus-menerus, dan perlambatan belanja konsumen juga kemungkinan menjadi penyebab terkikisnya peluang kerja tingkat pemula. Perusahaan mencari cara untuk melakukan efisiensi beban usaha.
National Association of Colleges and Employers (NACE) dalam temuannya mencatat lulusan angkatan 2025 mengirimkan lebih banyak lamaran kerja dibandingkan angkatan 2024. Namun, rata-rata lulusan 2025 menerima lebih sedikit tawaran kerja dibandingkan angkatan sebelumnya, dengan jumlah rata-rata 0,78 dan 0,83.
Sementara itu, menurut laporan perusahaan teknologi pendidikan Cengage Group, dalam survei yang dilakukan pada bulan Juni dan Juli 2025, hanya 30% lulusan angkatan 2025 yang menyatakan telah mendapatkan pekerjaan penuh waktu di bidangnya. Kemudian, sekitar 41% lulusan angkatan 2024 yang menyatakan telah mendapatkan pekerjaan tersebut. Survei tersebut melibatkan 971 lulusan baru di seluruh AS.
Asosiasi Perguruan Tinggi dan Pemberi Kerja Nasional AS memprediksi lulusan 2026 bisa jadi mengalami hal yang sama atau bahkan jauh lebih buruk. Para pemberi kerja nampak kurang optimistis terhadap pasar kerja secara keseluruhan bagi para lulusan mendatang dibandingkan beberapa tahun terakhir.
Sekitar setengah, atau 51%, pemberi kerja menilai pasar kerja bagi para mahasiswa tingkat akhir tahun ini buruk atau sedang.
(hal/fdl)










































