Emiten tekstil, PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) atau APF, kembali mengirim surat ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk kesekian kalinya sejak 20 tahun lalu. Surat tersebut ditujukan kepada Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa, untuk meminta restrukturasi utang pemerintah.
Direktur Utama (Dirut) Asia Pacific Fibers, Ravi Shankar, mengatakan permohonan restrukturisasi utang mengalami status quo sejak tahun 2005. Adapun utang perseroan kepada pemerintah ini berasal dari Grup Texmaco pada krisis moneter di tahun 1998 sebesar Rp 91,88 triliun.
"Itu perlu keputusan dari Menteri (Keuangan) untuk solusi restrukturisasi. Jadi itu yang kita lagi, sudah delapan proposal mungkin di dalam 10 tahun kita pernah kasih, tapi dulu sama sekali tidak bahas. Pikirnya ini tidak penting, tidak penting. Sekarang kita dorong lagi dengan Menteri baru dan kami harap kita bisa duduk bersama dan cari satu solusinya," ungkap Ravi saat ditemui wartawan di Kembang Goela, Jakarta, Kamis (11/12/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibat macetnya persetujuan restrukturisasi utang pemerintah ini, terang Ravi, perseroan sulit mempertahankan kelangsungan usaha. Imbasnya, perseroan terpaksa menutup pabrik di Karawang dan menurunkan utilisasi di pabrik Kaliwungu, Kendal.
Hal ini berdampak pada rendahnya serapan tenaga kerja hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Adapun sejak penutupan pabrik Karawang dan penurunan utilisasi pabrik di Kaliwungu, APF telah melakukan PHK sebanyak 3.000 karyawan.
"Kita struggle saja untuk maintain going concern. Jadi sekarang dengan ada Menteri baru dan ada pro industri, pro employment ini, kami sangat harap positif lagi ini restrukturisasi kita bisa selesai. Karena potensi perusahaan masih bagus," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Keuangan Asia Pacific Fibers, Deddy Sutrisno, mengatakan total nilai yang diusulkan untuk direstrukturisasi sebesar US$ 82 juta atau sekitar Rp 1,36 triliun (asumsi kurs Rp 16.669). Ia menyebut, perseroan berencana melakukan investasi untuk meningkatkan produksi benang dan serat polyester setelah restrukturisasi utang ke Pemerintah selesai.
Langkah ini dianggap dapat kembali menyerap karyawan yang terkena PHK dan menyerap tenaga kerja lainnya. Adapun sebelumnya, APF sempat memiliki pangsa pasar nasional mencapai 21%. Meski begitu, Deddy tak menyebut nilai investasi yang dibutuhkan nantinya.
"Kami masih hitung berapa kebutuhan nilai investasinya. Tapi yang pasti, para kreditur siap mendukung bisnis Perseroan," tuturnya.
Adapun saat ini, target penjualan APF menurun hingga 76,6% menjadi US$ 44,5 juta dari tahun sebelumnya sebesar US$ 190,15 juta. Meski demikian, perseroan berhasil melakukan efisiensi dengan menekan kerugian usaha atau EBITDA negatif yang diproyeksikan menjadi US$ 3,4 juta pada akhir 2025
Sementara per September 2025, APF membukukan penjualan sebesar US$ 33,38 juta atau turun sekitar 80% dibanding periode sama tahun sebelumnya sebesar US$ 166,74 juta. Akibatnya, APF mencatat EBITDA negatif sebesar US$ 2,55 juta per September 2025.
(kil/kil)










































