Roti O tengah menjadi sorotan setelah menolak pembayaran tunai dari konsumen lansia viral di media sosial. Video yang beredar memicu perbincangan publik terkait penerapan transaksi non-tunai di gerai roti tersebut.
Sekretaris Eksekutif Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Rio Priambodo meminta pelaku usaha tidak menutup ruang konsumen dalam memilih metode pembayaran. Ia meminta jangan sampai metode pembayaran tertentu sampai dibuat kebijakan internal.
"Hak konsumen dalam memilih dijamin UU Perlindungan Konsumen tepatnya Pasal 4 mengenai hak konsumen dan patut dipatuhi oleh pelaku usaha," tegas dia saat dihubungi detikcom, Senin (22/12/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rio menegaskan bahwa YLKI tidak menentang upaya meningkatkan inklusi keuangan. Ia mempersilakan pelaku usaha menyediakan pembayaran digital tapi jangan mengesampingkan uang tunai.
"Kejadian kemarin merupakan pembelajaran dan introspeksi secara menyeluruh soal sistem metode pembayaran. Pemerintah perlu mengawasi soal metode pembayaran jangan sampai digitalisasi pembayaran mempersulit konsumen dalam melakukan transaksi," imbuhnya.
YLKI juga meminta pelaku usaha berhenti mengeneralisasi konsumen, karena ada kelompok konsumen rentan seperti disabilitas, lansia, anak-anak, dan lainnya yang mempunyai karakteristik dan kebutuhan tertentu dalam bertransaksi.
Masih Banyak Transaksi Tunai
Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menekankan bahwa pengusaha harus paham bahwa QRIS memang diminati kelompok usia Gen Z dan milenial. Namun, ia mengingatkan bahwa jumlah pengguna tunai di Indonesia masih di atas 90%.
"Generasi baby boomers kalau nggak pakai cash ya kartu kredit. Artinya, pelaku usaha terutama di sektor ritel harus cermat untuk tetap memberikan porsi berbagai moda pembayaran," ujar Bhima.
Menurutnya, QRIS harusnya dijadikan opsi alternatif pembayaran. Ia juga mengingatkan bahwa jika pengusaha memaksakan sistem pembayaran digital, ada kemungkinan mereka kehilangan beberapa segmen konsumen.
"QRIS itu hanya pilihan. Kalau dipaksa hanya terima pembayaran digital khawatir pelaku usaha akan kehilangan kesempatan merebut segmen konsumen baby boomers, padahal mereka ceruk potensial yang punya pendapatan lebih besar dibanding generasi muda," tambah Bhima.
Polemik tersebut muncul di tengah upaya percepatan digitalisasi sistem pembayaran di Indonesia. Di sisi lain, tingkat literasi dan inklusi keuangan masyarakat masih memiliki catatan.
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2025 dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pusat Statistik (BPS), indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia tercatat 66,46%. Angka ini naik tipis dari 2024 yang sebesar 65,43%, yang menggambarkan tingkat pemahaman masyarakat terhadap produk dan layanan keuangan formal.
Pada periode yang sama, indeks inklusi keuangan nasional mencapai 80,51% atau naik dari 2024 yang sebesar 75,02%. Indeks ini menunjukkan proporsi masyarakat yang telah memiliki akses dan menggunakan layanan keuangan formal.
Inklusi keuangan merujuk pada penyediaan akses terhadap berbagai lembaga, produk, dan layanan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Untuk apa ada inklusi keuangan? Dengan adanya peningkatan inklusi keuangan diharapkan dapat mengurangi jumlah masyarakat unbanked atau yang belum memiliki rekening bank karena tidak memiliki akses layanan perbankan dasar seperti tabungan yang merupakan hak fundamental bagi semua orang dan berperan penting dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat
Simak juga Video Klarifikasi Toko soal Nenek yang Ditolak Bayar Tunai saat Beli Roti











































