Salah satu pemicunya memang datang dari kebijakan suku bunga negatif oleh Jepang dan Uni Eropa. Banyak investor yang kebingungan untuk menempatkan dananya agar tetap untung. Pasar keuangan Indonesia menjadi pilihan untuk saat ini.
Cerita ini hampir persis seperti yang terjadi pada beberapa tahun lalu. Saat AS juga memberlakukan hal yang sama. Indonesia ikut menikmati berkah, karena besarnya arus modal yang masuk membuat dolar AS turun ke level di bawah Rp 10.000.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang walau Jepang melakukan hal yang sama dan beberapa negara Eropa melakukan hal yang sama, tetap berbeda. Karena Amerika itu kan uangnya sudah mendunia," ungkap Darmin, di Menara BTN, Jakarta, Rabu (2/3/2016).
Ini juga sekaligus menghindari risiko pembalikan arus modal asing seperti yang terjadi pada 2013, akibat berubahnya kebijakan negara-negara tersebut.
"Nggak akan, karena sumbernya tak ada lagi kebijakan Amerika yang quantitative easing. Yang paling banyak arusnya itu karena AS melakukannya," terangnya.
Meski demikian, Darmin mengaku tetap terus waspada. Hot money tidak boleh dibiarkan terlalu liar masuk ke dalam negeri, mengingat risiko pembalikan yang bisa saja datang tiba-tiba. Solusi terbaik adalah suku bunga yang rendah.
Dengan demikian, maka imbal hasil dari berbagai instrumen pasar keuangan dalam negeri juga tidak terlalu tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya. Investor juga tidak buru-buru membawa dananya.
"Kita jangan membiarkan tingkat bunga terlalu tinggi. Supaya ya jangan juga terlalu banyak arus datang karena terlalu banyak bedanya dengan bunga negara lain," tegasnya
Menurut Darmin, ada titik di mana berinvestasi di pasar keuangan dalam negeri tetap menarik. Mengingat pembiayaan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih membutuhkan dana asing.
"Sampai tingkat tertentu, itu tinggal mencari titik yang betul," kata Darmin.
Pada sisi lain, pemerintah mengarahkan agar investor melakukan investasi langsung pada sektor rill. Jenis investasi ini tentu lebih rendah risiko dibandingkan dengan pasar keuangan.
"Kalau FDI itu nggak usah khawatir, kalau sudah menjadi gedung kan ya nggak bisa dibawa pulang," pungkasnya. (mkl/drk)











































