Rugi Rp 1,2 T di Semester I, Ini Penjelasan Krakatau Steel

Rugi Rp 1,2 T di Semester I, Ini Penjelasan Krakatau Steel

Michael Agustinus - detikFinance
Minggu, 21 Agu 2016 13:50 WIB
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta - PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) mencatat kerugian sebesar US$ 93,28 juta atau setara dengan Rp 1,2 triliun (asumsi kurs dolar Rp 13.000) pada semester I-2016.

Terkait hal ini, Direktur Keuangan Krakatau Steel, Tambok Setyawati, menjelaskan bahwa negatifnya laporan keuangan perseroan ini berasal dari kerugian di perusahaan afiliasi dan fluktuasi kurs, bukan dari operasional perusahaan.

"Kerugian tersebut adalah kontribusi dari perusahaan afiliasi dan rugi karena selisih kurs. Rugi kurs US$ 32,87 juta," kata Tambok kepada detikFinance, Minggu (21/8/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sedangkan dari kinerja operasional, Krakatau Steel menuai hasil positif. Laba operasional selama semester I-2016 mencapai US$ 26,7 juta. Sebagai pembanding, pada periode yang sama tahun lalu Krakatau Steel rugi operasional US$ 103 juta.

"Laba operasional ini sangat membantu, jauh lebih baik dibanding tahun lalu. Perusahaan-perusahaan produsen baja lain rata-rata di operasional pun negatif, kita bisa positif," paparnya.

Keberhasilan mencetak laba operasional ini, sambungnya, berkat banyaknya proyek infrastruktur di dalam negeri. Permintaan baja untuk sektor infrastruktur melonjak sehingga penjualan baja Krakatau Steel naik 40% dari sisi volume.

"Penjualan kita naik 40% secara tonase. Dari infrastruktur, secara produk yang mengalami kenaikan penjualan paling tinggi adalah HRC, kenaikannya sampai 66,3%," ujar Tambok.

Tapi meski penjualan naik 40%, pendapatan Krakatau Steel tidak ikut terkerek karena harga baja dunia yang menjadi acuan tahun ini turun sekitar 20%.

"Harga baja pada April-Mei mulai naik, tapi year on year (yoy) rata-rata turun 20%," ucap dia.

Untuk meningkatkan kinerja operasional, dan membuat kinerja perusahaan menjadi positif secara keseluruhan, pihaknya terus melakukan efisiensi. Krakatau Steel pada kuartal IV 2016 ini akan menyelesaikan proyek yang dapat menekan biaya produksi baja hingga US$ 58,3 per ton.

"Kita lakukan terus efisiensi biaya produksi. Proyek sudah jalan 96%, nanti di akhir tahun cost of production kita bisa turun US$ 58,3/ton. Penghematannya luar biasa, kalikan saja dengan produksi kita sekian juta ton," tutupnya.

Strategi Krakatau Steel Menghadapi Serbuan Baja Impor

Jatuhnya harga baja terutama disebabkan melimpahnya pasokan baja di pasar global akibat over production di China.

"Produksi China kelebihan, kapasitas mereka memang besar sekali," tutur Tambok.

Surplus produksi ini membuat China mengekspor bajanya dengan harga yang 'dibanting' ke seluruh dunia, tak terkecuali ke Indonesia. Perusahaan-perusahaan baja di seluruh dunia pun kelimpungan menghadapi serbuan baja impor murah dari China ini.

"Masalah baja impor memang masih menjadi momok buat kita," ujarnya.

Bahkan negara sekelas Amerika Serikat (AS) sampai melarang masuk baja dari China untuk melindungi industri baja nasionalnya.

"AS sudah melarang masuk baja China. Banyak negara lain juga sama, itu untuk mendukung industri baja di dalam negeri," ucap Tambok.

Pemerintah Indonesia pun telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan anti dumping untuk membatasi serbuan baja impor.

"Tentu pemerintah harus membantu, dan pemerintah sudah membantu dengan beberapa aturan anti dumping," Tambok menuturkan.

Tapi bukan hanya mengharapkan proteksi dari pemerintah, Krakatau Steel juga terus berbenah agar semakin berdaya saing.

"Kita terus berbenah, harus efisien biar menang persaingan," pungkasnya. (feb/feb)

Hide Ads