Menanggapi hal tersebut, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menjelaskan penguatan dolar AS yang terjadi pada Jumat kemarin juga terjadi pada seluruh mata uang dunia termasuk rupiah.
Pada hari Senin, dolar AS kembali mengalami penguatan secara meluas (broadbased). Sama seperti yang terjadi di hari Jumat, penguatan dolar AS masih dipicu oleh meningkatnya yield US treasury bills mendekati level psikologis 3,0% dan munculnya kembali ekspektasi kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) sebanyak lebih dari tiga kali selama 2018.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Akibat hal tersebut, mata uang negara maju pun mengalami pelemahan terhadap dolar AS. Seperti Jepang Yen (JPY) -0,25%, Swiss Franc (CHF) -0,27%, Singapore Dolar (SGD) -0,35% dan Euro (EUR) -0,31%. Dalam periode yang sama, mayoritas mata uang negara emerging market termasuk Indonesia, juga melemah," kata Agus dalam keterangan tertulisnya, Selasa (24/4/2018).
Baca juga: Rupiah Keok, Dolar AS Nyaris Rp 14.000 |
Agus menjelaskan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai fundamentalnya, BI telah melakukan intervensi baik di pasar valas maupun pasar SBN dalam jumlah cukup besar.
Dengan upaya tersebut, rupiah yang pada hari Jumat sempat terdepresiasi sebesar -0,70%, pada hari Senin hanya melemah -0,12%, lebih rendah daripada depresiasi yang terjadi pada mata uang negara-negara emerging market dan Asia lainnya, seperti Philipine Peso (PHP) -0,32%, India Rupee (INR) -0,56%, Thailand Baht (THB) -0,57%, Mexican Peso (MXN) -0,89%, dan Afrika Selatan ZAR -1,06%.
Gambaran serupa juga tampak dalam periode waktu yang lebih panjang. Dengan dukungan upaya stabilisasi oleh BI, sejak awal April (mtd), rupiah melemah -0,91%, lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lain, seperti THB -1,04%, INR -1,96%, MXN -2,76%, ZAR -3,30%. Demikian pula. Sejak awal tahun 2018 (ytd) rupiah melemah -2,35%, juga lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lain seperti BRL -3,06%, INR -3,92%, PHP -4,46%, dan TRY -7,17%.
Dia menyebut, BI akan terus memonitor dan mewaspadai risiko berlanjutnya tren pelemahan nilai tukar rupiah, baik yg dipicu oleh gejolak global seperti dampak kenaikan suku bunga AS, perang dagang AS-China, kenaikan harga minyak, dan eskalasi tensi geopolitik terhadap berlanjutnya arus keluar asing dari pasar SBN dan saham Indonesia. Selain itu, hal yang bersumber dari kenaikan permintaan valas oleh korporasi domestik terkait kebutuhan pembayaran impor, ULN, dan dividen yang biasanya cenderung meningkat pada kuartal II juga diwaspadai.
"Untuk itu, Bank Indonesia akan tetap berada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah sesuai fundamentalnya," ujar Agus. (ara/ara)