Dampak Dolar AS Rp 14.000 ke Ekonomi RI

Dampak Dolar AS Rp 14.000 ke Ekonomi RI

Selfie Miftahul Jannah - detikFinance
Rabu, 09 Mei 2018 08:30 WIB
Dampak Dolar AS Rp 14.000 ke Ekonomi RI
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta - Dolar Amerika Serikat (AS) terus hingga tembus Rp 14.040 kemarin. Posisi tersebut merupakan tertinggi tahun ini.

Dampaknya apa sih ketika dolar AS menguat sampai ke level Rp 14.000? Beberapa bahasan mengenai dampak penguatan dolar terhadap perekonomian Indonesia sudah terangkum di detikFinance, berikut ulasannya:
Dolar Amerika Serikat (AS) kembali menguat hingga menembus Rp 14.040. Angka tersebut merupakan posisi tertinggi nilai tukar dolar AS yang terjadi tahun ini.

Pelemahan rupiah juga mempengaruhi pasar saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka turun 22,318 poin (0,38%) ke level 5.862,780. Bahkan hingga pukul 10.13 waktu JATS IHSG sudah anjlok 1,73% ke posisi 5.783,035.

Melihat kondisi tersebut, Direktur Penilaian Perusahaan PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Samsul Hidayat menilai pelemahan Rupiah yang kembali berlanjut memaksa investor asing untuk meramu kembali strategi investasinya di Indonesia. Hal itulah yang membuat adanya arus keluar dana asing dari pasar modal.

"Kan memang mayoritas kepemilikan saham sebagian asing dan saya kira mereka sedang membuat rebalancing dari sisi portofolio mereka. Karena mereka sedang mengukur faktor risiko dan pergerakan currency yang ada," tuturnya di Gedung BEI, Jakarta, Selasa (8/5/2018).

Samsul menambahkan, memang bagi investor asing yang menempatkan dananya di Indonesia tengah bergejolak, namun dia yakin pasar modal Indonesia masih menarik bagi mereka. Sebab kinerja para perusahaan tercatat masih dalam tren positif.

"Tentunya akan ada sedikit gejolak di mereka. Tapi saya yakin dengan permormance emiten kita yang cukup baik, bahkan sebagian dari mereka memperoleh peningkatan laba dari 2016," tuturnya.

Di posisi terakhir hari ini investor asing telah melakukan aksi jual dengan catatan net sell Rp 167,6 miliar. Sementara dari awal tahun net sell sudah mencapai Rp 36,6 triliun.

Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Sudirman menjelaskan, 80% komponen pembuatan pakan ternak disuplai dari luar negeri.

"Industri pakan ternak itu komponen antara 75-80% (impor). Salah satu contoh bahan baku yang paling kena adalah bungkil kedelai, itu dari Argentina dan Brasil impor. Komoditas ini bukan hanya terdampak karena dolar yang naik tapi juga ada internasional marketnya juga naik, jadi ini sudah jatuh tertimpa tangga," kata dia kepada detikFinance, Selasa (8/5/2018).

Ia menjelaskan, industri ini terkena dampak dua kali, setelah USD naik menjadi Rp 14.000 kemudian harga bahan baku di pasar juga naik. Ia mengatakan, pakan ternak bisa terpangaruh karena fluktuasi harga komoditas internasional dan fluktuasi curancy USD. Kondisinya kata Sudirman kedua hal ini sedang mengalami kondisi buruk dengan nilai yang terus melambung tinggi.

"Ini dua duanya lagi jelek melambung tinggi. Jadi bisa dibayangkan pada awal Januari, dolar masih Rp 13.300 sekarang sudah Rp 14.000 itu berarti sudah naik Rp 700 jadi kalau dibandingkan dengan Januari sampai sekarang. Ada depresiasi rupiah cukup besar sebesar Rp 700 perak itu berarti ada kenaikan biaya pakan di 75% Γ— 700 itu kalau kita bandingkan dari januari sampai sekarang," papar dia.

Sudirman merinci, 80% komponen impor untuk untuk membuat pakam ternak diantaranya yaitu bukil kedelai yang didatangkan dari Argentina dan Brasil, tepung tulang dan daging yang didatangkan langsung dari Newzeland, Australia dan Amerika. Minyak jagung dari Amerika dan vitamin yang didatangkan langsung dari China dan Australia.

"Garam kita impor, waktu itu impor garam tersendat itu kita juga terganggu. Semua masih impor," kata dia

Jika hal ini terus terjadi maka kenaikannharga pakan ayam kata Sudirman sudah pasti terjadi.

"Kalau kombinasi antara kenaikan harga komoditas dan depresiasi rupiah, itu bisa saya hitung itu seharusnya, itu harga pakan akan naik 10%," kata dia.

Dengan adanya kenaikan harga jual pakan ternak, dikhawatirkan hargu jual daging ayam akan ikut menanjak seiring meningkatnya biaya produksi yang disumbang kenaikan harga pakan tersebut.

"Artinya kalau misalnya harga pakan Rp 6.500-7000/kg nanti kenaikannya bisa kalau nggak ganggu struktur biaya itu harusnya naik jadi Rp 6.550-7.700/kg," beber dia.

Harga pupuk bisa lebih mahal karena saat ini Dolar Amerika Serikat (AS) terus mencatatkan penguatan. Pagi ini saja, dolar AS sudah bertengger di Rp 14.027 yang merupakan posisi tertinggi sejak awal tahun.

Direktur Utama PT Pupuk Indonesia, Aas Asikin Idat, menjelaskan penguatan dolar terhadap rupiah begitu berpengaruh biaya produksi. Karena dalam proses pembuatan pupuk pihaknya membutuhkan gas yang dibeli menggunakan dolar.

"Rupiah sangat berpengaruh, karena gas bayarnya bukan pakai rupiah, gas itu 70% dari komponen cost," kata dia di Gedung Kementerian BUMN, Selasa (8/5/2018).

Untuk mengantisipasi penguatan dolar yang membuat ongkos pengeluaran atau produksi meningkat, pihaknya berusaha melakukan hedging atau asuransi uang. Selain itu juga pihaknya berusaha menggenjot produksi untuk ekspor.

"Solusinya cost kita maintance dan berusaha karena dolar naik kita usahakan ekspor dan hedging. Ekspor Vietnam, Bangladesh, China, Thailand, Australia dan Newzeland," papar dia.

Ia menekankan tentu dengan prioritas produksi pupuk untuk diekspor agar menutupi pengeluaran akibat dolar menguat. Ekspor hanya bisa dilakukan jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi.

"Ekspor dilaksanakan setelah dalam negeri terpenuhi. Ekspornya 700.000 ton, di tahun 2018. Ingin lebih dari itu, kembali lagi kalau ada banjir ada replanting berarti harus diperbantukan," kata dia.

Bank Indonesia (BI) angkat bicara terkait dengan dolar Amerika Serikat (AS) yang terus mencatatkan penguatan. Pagi ini saja, mata uang negeri Paman Sam sudah bertengger di Rp 14.040 yang merupakan posisi tertinggi sejak awal tahun.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan pasar pergerakan nilai tukar tersebut hanya bersifat sementara karena kebijakan AS yang ingin menaikkan suku bunga.

"Gini yah, kurs di dunia ini seperti sudah dijelaskan berkali-kali Bank Indonesia, saat ini sedang terjadi kenaikan suku bunga Amerika ya, dan tentu kenaikan suku bunga Amerika membuat adanya perubahan pergerakan modal di dunia," kata Mirza usai rakor inflasi di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (8/5/2018).

Ia menjelaskan, volatilitas nilai tukar yang sekarang terjadi tidak sama seperti pada 2013 dan 2015. Di mana, pada saat itu AS mengumumkan ingin menaikan suku bunga pada 2013 dan direalisasikan pertama kalinya pada 2015. Pada saat itu, dia bilang, dampak terhadap nilai tukar rupiah sangat kencang.

"Tapi kalau sekarang 2018 kenaikan suku bunga Amerika yang terus berlanjut ya ini menurut kami volatilitas sementara saja," ujar dia.

Dengan volatilitas yang sementara, Mirza berpesan kepada pasar domestik untuk tidak khawatir dalam menyikapi kebijakan yang akan diambil oleh Amerika.

Menurut dia, dampak pelemahan mata uang tidak hanya Indonesia sendiri yang merasakan. Melainkan negara-negara lain seperti Filipina, India, Brasil, Turki, Swedia, Norwegia, dan Australia pun terkena dampaknya.

"Memang negara-negara yang angka ekspor impor barang jasanya itu ada defisit itu cenderung kursnya agak melemah tapi nggak usah khawatir karena kalau kita ekspor impor barang jasanya itu defisit memang dan kondisi ddefisitnya melebat cuma masih dalam posisi yang prudent dari 1,7% PDB tahun lalu tahun ini menjadi 2,2 atau 2,3% PDB itu masih angka yang sangat prudent di bawah 3% PDB," ungkap dia.

Indikasi Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuannya semakin kuat seiring dengan pergerakan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) yang sudah bertengger di Rp 14.000.

Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara mengatakan kenaikan suku bunga tersebut akan ditentukan dalam rapat dewan gubernur (RDG) pada bulan Mei ini.

"Bank Indonesia sudah menyampaikan bahwa nanti di RDG tanggal 16-17 bulan ini akan ada RDG bulanan untuk menentukanstance kebijakan moneter," kata Mirza usai rakor inflasi di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (8/5/2018).

Dia menyebut sebelum mengambil keputusan untuk menaikkan suku bunga, Bank Indonesia akan melihat data-data perekonomian terlebih dahulu, seperti inflasi, kinerja ekspor dan impor, pergerakan arus modal di dunia.

Bahkan akan terus memantau kebijakan Amerika dalam menaikkan suku bunga yang dikabarkan terealisasi pada Juni tahun ini.

"Kita lihat juga suku bunga negara tetangga Malaysia juga sudah naik, Korea juga sudah naik, jadi nanti kita asset tapi intinya bahwa data-data itu diperlukan kenaikan suku bunga ya kita harus juga melakukan adjustment," tutup dia.

Nilai tukar dolar yang sudah bertengger di Rp 14.000 nampaknya membuat pemerintah mulai memutar otak dalam merealisasikan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Tahun 2018 sesuai dengan asumsi yang ditetapkan.

Asumsi nilai tukar rupiah menjadi salah satu yang paling melebar realisasinya jika melihat data teranyar saat ini. Nilai tukar diasumsikan pada APBN 2018 sebesar Rp 13.400 per USD, namun sekarang posisi dolar sudah berada di level Rp 14.000.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku tengah mengkaji ulang dampak dari nilai tukar tersebut. Sebab, menguatnya dolar memberikan hal positif dan negatif.

"Kami akan terus memantau dinamika dari perekonomian, terutama dari faktor kebijakan negara lain yang bisa memberikan pengaruh kepada nilai tukar rupiah maupun ekonomi kita. Indonesia akan terus menjaga, Kementerian Keuangan bersama dengan BI dan Kementerian ekonomi lainnya. Karena dinamika yang sekarang terjadi harus bisa dijaga untuk bisa memberikan nilai positif," kata Sri Mulyani di Djakarta Theater, Jakarta, Selasa (8/5/2018).

Sri Mulyani menyebut sisi positif nilai dolar tinggi terdapat pada pos penerimaan yang berasal dari kegiatan ekspor. Di mana, jumlah dolar yang didapatkan akan lebih banyak jika dikonversi ke dalam rupiah. Meski begitu, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini berjanji akan menjaga defisit anggaran tetap di level 2,91%.

"Jadi inflasi yang berasal dari barang-barang impor, dan banyak sekali impor itu sudah dilakukan pada tahun lalu sampai dengan kuartal pertama ini, makanya kalau dilihat dari GDP kuartal I, impor kita tumbuh 12%, itu bagaimana pass through-nya kepada inflasi harus kita jaga bersama-sama dengan BI," jelas dia.

Lebih lanjut dia mengatakan, kondisi dolar yang menguat tentu mempengaruhi anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik. Dia mengaku, saat ini sedang menghitung ulang bersama Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno.

"Kita dalam tahap membuat laporan semester pertama APBN, itu yang sedang kami fokuskan, dan itu yang akan kami laporkan baik kepada kabinet, presiden, dan kita bahas dengan dewan. Dari situ kita akan lihat pelaksanaan APBN 2018 dengan adanya perubahan-perubahan itu," jelas dia.

Hide Ads