Dolar Menguat, Apakah Hanya Terjadi di Indonesia?

Dolar Menguat, Apakah Hanya Terjadi di Indonesia?

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Kamis, 24 Mei 2018 19:36 WIB
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - Nilai dolar hari ini sempat menyentuh angka Rp 14.211 (berdasarkan Reuters). Bank Indonesia (BI) menilai kondisi penguatan dolar AS tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga negara lain.

Apakah Indonesia negara paling parah?

Kepala Ekonom Samuel Asset Management (SAM) Lana Soelistianingsih menjelaskan saat ini Indonesia bukanlah negara yang paling parah mengalami depresiasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Indonesia itu bukan yang paling parah, kalau mata uang yang terdepresiasi dari dolar AS itu yang parah Argentina dan Brasil. Indonesia peringkat ke 7," kata Lana saat dihubungi detikFinance, Kamis (24/5/2018).

Dia mengungkapkan jika dilihat selama tiga tahun terakhir angka Rp 14.200 bukanlah pelemahan paling dalam. Pasalnya 3 tahun lalu dolar pernah menembus angka Rp 14.653 dan tidak terjadi apa-apa di perekonomian Indonesia.

"Ini masih dalam kisaran normal, sekarang memang terkesan lemah sekali. Padahal memang kebetulan ada permintaan dolar untuk pembayaran dividen dan faktor eksternal lain," ujar dia.



Dia menjelaskan selain itu kondisi defisit neraca transaksi berjalan juga turut mempengaruhi melemahnya rupiah. Lana mengungkapkan untuk menutup defisit neraca transaksi berjalan harus mendorong ekspor.

Karena itu pemerintah harus mendorong usaha untuk peningkatan kualitas ekspor dengan menyediakan kebijakan untuk mengadakan tempat substitusi impor.

Selain itu pemerintah juga harus mampu memanggil perusahaan asing untuk berinvestasi di Indonesia. Hal ini agar ketergantungan impor bisa berkurang.

"Sekarang pabrik obat itu bahan bakunya 90% impor, ini bagaimana caranya pemerintah harus bisa undang investor agar mau buka pabrik bahan baku di sini. Ini kan bisa mengurangi permintaan impor," ujarnya.

Menurut Lana selama substitusi impor belum ada maka defisit neraca transaksi berjalan masih akan tetap terjadi. Karena akan selalu berhubungan jika ekonomi tumbuh maka impor akan menguat dan ini akan mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Selama belum ada substitusi impor ya belum bisa dikendalikan. Pemerintah harus undang pabrik untuk menghasilkan barang di sini," jelas dia.

(eds/eds)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads