Dolar AS Ngamuk, Perlukah Gerakan Cinta Rupiah?

Dolar AS Ngamuk, Perlukah Gerakan Cinta Rupiah?

Hendra Kusuma - detikFinance
Selasa, 04 Sep 2018 12:53 WIB
Foto: Muhammad Ridho
Jakarta - Nilai tukar dolar AS terhadap rupiah pagi ini menguat kembali ke angka Rp 14.840. Angka tersebut naik dari posisi Rp 14.825 siang kemarin.

Demikian dikutip detikFinance dari data perdagangan Reuters, Selasa (4/9/2018). Dolar bergerak di level terendah 14.809 dan tertinggi di 14.842 pada hari ini.

Posisi nilai rupiah saat ini pun sudah naik tinggi jika dibandingkan pada saat pemerintahan kabinet kerja memulai kinerja, yakni rentang pelemahannya 11,7% dari Rp 13.288 menjadi Rp 14.844.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rentang pelemahan rupiah saat ini pun berbeda dengan yang terjadi pada saat krisis moneter (krismon) 1998, pelemahan nilai tukar rupiah 732,5% dari Rp 2.000 menjadi Rp 16.650. Lalu perlukah gerakan cinta rupiah seperti pada saat krismon 1998?

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam mengakui gerakan tersebut belum diperlukan jika hanya sebagai antisipasi pelemahan nilai tukar.

"Kalau menurut saya nggak perlu ada gerakan cinta rupiah. Dari dulu saya juga nggak setuju," kata Piter saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Selasa (4/9/2018).



Dia mengaku tidak setuju akan adanya gerakan cinta rupiah karena dinilai gerakan tersebut tidak memiliki dampak signifikan dan hanya simbolis semata.

"Gerakan itu justru memunculkan persepsi kondisi rupiah sudah demikian buruknya. Sementara kondisi rupiah sebenarnya belum begitu buruk," jelas dia.

Menurut Piter, kondisi nilai tukar rupiah saat ini jauh sekali jika dibandingkan saat 1997-1998. Rupiah waktu itu melemah dari Rp 2.250 menjadi 16.650 atau melemah ratusan persen.

"Sementara saat ini rupiah hanya melemah dari Rp 13.800 di awal tahun menjadi sekitar Rp 14.900 saat ini. Artinya hanya melemah sekitar Rp 1000 rupiah atau sekitar 8% saja. Sangat jauuh kalau dibandingkan dengan periode krisis 1997-1998," ungkap dia.

Sementara itu, ekonom dari INDEF Bhima Yudisthira pun menilai gerakan cinta rupiah belum diperlukan, apalagi porsi dolar yang dipegang masyarakat terbilang sedikit.

Menurut dia, yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah memulangkan devisa hasil ekspor (DHE) ke tanah air. Sebab, berdasarkan catatannya per Juni 2018 DHE yang dihasilkan USD 69,88 miliar. DHE yang masuk ke perbankan domestik sekitar USD 64,74 miliar (92.6%). Sedangkan yang dikonversi ke rupiah USD 8,62 miliar (13.3%).

Lalu, Lanjut Bhima, Data BI Januari-Mei 2018, dari total US$ 59,09 miliar DHE yang dihasilkan, ada sekitar 92,9% atau US$ 54,9 miliar yang ditaruh di perbankan dalam negeri dan hanya sekitar 13,7% sebesar US$ 7,516 Miliar yang dikonversikan ke dalam mata uang rupiah.

Sebelumnya BI mengungkap data bahwa DHE yang dikonversi kerupiah sebesar 15%.

"Jika di bawah itu menunjukkan upaya selama ini memulangkan DHE belum efektif. Tarik saja Devisa ekspor lewat regulasi dan sanksi yang tegas. Itu efektif untuk naikkan kurs rupiah," tutup Bhima.

(hek/eds)

Hide Ads