Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengungkapkan penguatan dolar AS terjadi karena sentimen global. Selain itu ketergantungan impor minyak Indonesia juga menjadi penyebab tertekannya rupiah.
David mengungkapkan nilai fundamental rupiah adalah di kisaran Rp 14.400 per dolar AS. Namun dengan faktor sentimen global bisa bergerak di kisaran Rp 14.800- Rp 15.500.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan selama ini banyak pihak yang mempertanyakan bagaimana kondisi Indonesia jika dolar AS tembus Rp 13.000, Rp 14.000 sampai Rp 15.000. Sebenarnya tidak ada masalah, karena harga dolar AS tak naik secara signifikan.
David menambahkan hal ini berbeda dengan kondisi 97-98 yang dolar AS bergerak liar mulai dari Rp 2.000 ke Rp 5.000 kemudian dalam waktu beberapa bulan ke Rp 16.000.
Baca juga: Sore Ini Dolar AS Rp 15.071 |
"Kalau sekarang kan bertahap, pelan-pelan. Memang ada peluang untuk penguatan. Karena Indonesia itu ketergantungan portofolio asing jadi sekitar US$ 400 juta sampai US$ 500 juta itu akan keluar untuk pembayaran lain-lain. Belum lagi kalau ada outflow," jelas dia.
Kemudian saat ini devisa hasil ekspor yang masuk 85% namun hanya 15% yang dikonversi ke rupiah. Setelah itu impor yang lebih tinggi daripada ekspor sangat membuat rupiah tertekan.
Kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) juga disebut akan mempengaruhi nilai rupiah. Dia menyebutkan bank sentral AS berekspektasi akan menaikan bunga acuan pada 2019 sebanyak tiga kali dan 2020 sebanyak dua kali.
Karena itu Bank Indonesia (BI) beberapa bulan ini seharusnya sudah lebih agresif dalam meningkatkan bunga acuan. Namun memang jika lebih agresif akan ada konsekuensi ke kondisi pertumbuhan ekonomi.