-
Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) akhirnya tembus Rp 15.000 pada Selasa (2/10). Dari perdagangan Reuters dolar AS tembus ke level Rp 15.001 pada pukul 11.00 WIB.
Tren penguatan nilai dolar AS memang sudah terjadi sejak akhir pekan lalu. Faktor eksternal lagi-lagi disebut sebagai penyebab penguatan dolar AS ini
Pertama harga minyak yang naik signifikan menjadi US$ 85 per barel dan meningkatnya harga US Treasury menyebabkan dolar AS terus perkasa.
Bila ditarik dalam rentang waktu 3 bulan terakhir, rupiah suda terdepresiasi sedalam 7,6%, di mana pada tanggal 19 Juni 2018, dolar AS masih berada di Rp 13.930.
Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan nilai tukar dolar AS yang hampir menyentuh Rp 15.000 sendiri banyak dipengaruhi kondisi global. Mulai dari kenaikan suku bunga acuan AS, kebijakan moneter The Fed, hingga pengaruh perang dagang AS.
Akibat berbagai kebijakan dari AS tersebut membuat peredaran mata uang dolar AS jadi terbatas. Hal ini yang terjadi di Indonesia dan menyebabkan pasokan dolar AS di dalam negeri menjadi berkurang.
Terlebih, tingkat ekspor Indonesia saat ini masih lebih rendah dibandingkan impor, atau defisit. Karenanya, permintaan terhadap barang dan jasa impor justru semakin meningkat dan membuat dolar AS menjadi lebih mahal.
"Demand lebih banyak impor barang dan jasa, maka harga dolar AS menjadi mahal. Hukum supply-demand," ujarnya beberapa waktu lalu.
Posisi ini menjadi yang tertinggi sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pada 20 Oktober 2014 atau bertepatan saat Jokowi dilantik sebagai Presiden RI, dolar AS berada di Rp 12.030. Posisi tersebut terpantau lebih tinggi dari sebelumnya. Pada 21 Agustus 2013, saat itu dolar AS ditukar dengan Rp 11.288.
Sempat menyentuh Rp 14.710, penguatan dolar AS sempat mereda di 20 Oktober 2015 yakni di 13.645. Dolar AS kembali menyentuh level Rp 14.000an lagi pada 14 Desember 2015 yakni di 14.077.
Pada 20 Oktober 2017, dolar AS parkir di 13.500 sebelum akhirnya mereda di 25 Januari 2018 yang tercatat di Rp 13.288.
Tren pelemahan terus berlanjut hingga pada 5 September dolar AS menyentuh Rp 14.999. Tinggal sedikit lagi dolar AS menyentuh Rp 15.000.
Sejak saat itu dolar AS bergerak pada rentang yang tak terlalu jauh dari Rp 13.900-13.800. Bahkan dolar AS tak pernah lagi menyentuh posisi di bawah Rp 14.800 hingga akhirnya hari ini posisi Rp 15.000 berhasil ditembus.
Ekonom PermataBank Josua Pardede mengungkapkan penyebab nilai dolar AS tembus di angka Rp 15.000 karena adanya sentimen global seperti meningkatnya imbal hasil US Treasur pada akhir pekan lalu.
"Kita tahu dari Jumat lalu itu imbal hasil surat utang AS naik hampir 4 basis poin, lalu ditambah lagi dengan harga minyak dunia yang terus naik sekarang ada di kisaran US$ 85 naiknya tinggi sekali dari US$ 75," kata Josua saat dihubungi detikFinance, Selasa (2/10/2018).
Dia menjelaskan, dua sentimen eksternal tersebut memicu dolar AS semakin kuat. Sementara dari dalam negeri defisit neraca transaksi berjalan Indonesia juga menjadi penyebab yang cukup berpengaruh. Saat ini Indonesia memang sebagai net oil imported.
"Ini sangat berdampak dan akan terus naik dolar AS-nya dan akan pengaruh ke rupiah, memang negara lain di Asia juga alami pelemahan. Tapi rupiah paling lemah," imbuh dia.
Josua menjelaskan saat ini Indonesia masih ditopang oleh kondisi inflasi yang baik dan terjaga. Sehingga tekanan terhadap nilai tukar masih tak terlalu kuat. "Kalau dilihat memang daya beli masih terjaga, inflasinya masih baik tapi memang harus dijaga lebih," ujar dia.
Dolar AS sendiri masih berada di level Rp 14.910 pada Senin (1/10) kemarin. Sebelumnya nilai tukar dolar AS mencapai level tertingginya pada bulan lalu yang mencapai 14.999.
Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan nilai tukar dolar AS yang hampir menyentuh Rp 15.000 sendiri banyak dipengaruhi kondisi global. Mulai dari kenaikan suku bunga acuan AS, kebijakan moneter The Fed, hingga pengaruh perang dagang AS.
Akibat berbagai kebijakan dari AS tersebut membuat peredaran mata uang dolar AS jadi terbatas. Hal ini yang terjadi di Indonesia dan menyebabkan pasokan dolar AS di dalam negeri menjadi berkurang.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memilih untuk tak banyak berkomentar terkait dengan depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Dolar AS akhirnya menembus level psikologis di Rp 15.000. Mengutip data perdagangan Reuters, Selasa (2/10/2018), dolar AS siang ini berada di Rp 15.001.
"Ya sudahlah jangan dikomentari dulu, sudah nanti saja pokoknya kita cerna dulu semuanya," kata Darmin di kompleks Istana, Jakarta, Selasa (2/10/2018).
Darmin menyadari, angka Rp 15.000 per US$ menjadi level psikologis baru dan akan berdampak pada biaya komponen pelaku industri, terutama pada bahan baku impor.
Meski demikian, Mantan Dirjen Pajak ini memilih untuk mempelajari dan mengumpulkan informasi terkait dengan perkembangan nilai tukar lebih dulu.
"Pokoknya saya belum mau komentar itu, saya coba pulang dulu saya coba pelajari, nanti kita lihat," tutup dia.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengungkapkan penguatan dolar AS terjadi karena sentimen global. Selain itu ketergantungan impor minyak Indonesia juga menjadi penyebab tertekannya rupiah.
David mengungkapkan nilai fundamental rupiah adalah di kisaran Rp 14.400 per dolar AS. Namun dengan faktor sentimen global bisa bergerak di kisaran Rp 14.800- Rp 15.500.
"Sentimennya memang tidak baik, ada isu yang berhembus di kalangan fund manager aliran modal keluar juga karena bencana. Tapi saya rasa isu itu tidak benar karena pemerintah kan cepat tanggap dengan bencana," kata David saat dihubungi detikFinance, Selasa (2/10/2018)
Dia menjelaskan selama ini banyak pihak yang mempertanyakan bagaimana kondisi Indonesia jika dolar AS tembus Rp 13.000, Rp 14.000 sampai Rp 15.000. Sebenarnya tidak ada masalah, karena harga dolar AS tak naik secara signifikan.
David menambahkan hal ini berbeda dengan kondisi 97-98 yang dolar AS bergerak liar mulai dari Rp 2.000 ke Rp 5.000 kemudian dalam waktu beberapa bulan ke Rp 16.000.
"Kalau sekarang kan bertahap, pelan-pelan. Memang ada peluang untuk penguatan. Karena Indonesia itu ketergantungan portofolio asing jadi sekitar US$ 400 juta sampai US$ 500 juta itu akan keluar untuk pembayaran lain-lain. Belum lagi kalau ada outflow," jelas dia.
Kemudian saat ini devisa hasil ekspor yang masuk 85% namun hanya 15% yang dikonversi ke rupiah. Setelah itu impor yang lebih tinggi daripada ekspor sangat membuat rupiah tertekan.
Kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) juga disebut akan mempengaruhi nilai rupiah. Dia menyebutkan bank sentral AS berekspektasi akan menaikan bunga acuan pada 2019 sebanyak tiga kali dan 2020 sebanyak dua kali.
Karena itu Bank Indonesia (BI) beberapa bulan ini seharusnya sudah lebih agresif dalam meningkatkan bunga acuan. Namun memang jika lebih agresif akan ada konsekuensi ke kondisi pertumbuhan ekonomi.