Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan di tahun politik memang ada kemungkinan para investor akan menahan sementara investasinya di Indonesia.
Hal ini karena investor lebih menyukai kepastian dan komitmen dari sebuah negara. "Mungkin dari sisi investasi akan menunda realisasi dari komitmennya, ini menunggu kepastian pemilu," kata Bhima saat dihubungi detikFinance, Kamis (3/1/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Dolar AS Menguat Tipis ke Rp 14.480 |
Dia menambahkan, jika adanya penundaan maka aliran modal masuk atau capital inflow akan terbatas. Nah ini disebut akan mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Jika itu terjadi, maka perbankan dan sektor riil akan terimbas.
Namun, menurut Bhima sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pasalnya Bank Indonesia (BI) akan menjaga stabilisasi nilai tukar agar tetap berada di posisi sesuai fundamentalnya. Tahun 2019 ini diperkirakan nilai tukar berada di kisaran Rp 15.000 per dolar AS.
"Angka ini adalah titik keseimbangan baru yang bertahan untuk waktu yang lama. BI tidak akan membiarkan dolar AS tembus di Rp 15.000, karena cadangan devisa masih cukup untuk intervensi kurs," imbuh dia.
Per November 2018 cadangan devisa (cadev) tercatat masih di angka US$ 117 miliar. Kemudian pemerintah pada tahun ini diperkirakan akan mendorong masuknya likuiditas valas melalui penerbitan global bond.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengungkapkan BI optimistis tahun ini rupiah bisa lebih baik dibandingkan 2018.
Dia menyebut pada penutupan 31 Desember 2018 nilai rupiah tercatat mengalami pelemahan 5,75% sepanjang tahun 2018.
"Pada penutupan terakhir (31/12) Rupiah menguat 1,24%. Dengan demikian Rupiah sepanjang 2018 year to date melemah 5,7%. Semoga di tahun 2019 bisa lebih baik lagi," jelas dia. (kil/ara)