Bank Indonesia (BI) menyebut sentimen positif dari kesepakatan perang dagang, perubahan sikap the Fed, dan berbagai perkembangan data ekonomi tersebut mendorong terjadinya pelemahan nilai tukar US$ secara broadbase, penguatan index saham global dan kenaikan yield US Treasury.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah menyebut pelemahan dolar AS juga terjadi terhadap rupiah. Sehingga terjadi penguatan penguatan sekitar 1,33% atau Rp 190.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menyebutkan sebelumnya The Fed tegas akan menaikkan suku bunga sebanyak dua kali pada 2019 setelah jatuhnya harga saham di AS.
"Kali ini The Fed menyiratkan lebih fleksibel dan akan menunggu perkembangan data ekonomi ke depan," kata Nanang saat dihubungi, Senin (7/1/2019).
Lalu, The Fed juga siap melakukan perubahan dalam kebijakan bunga serta mulai melunak atas rencana proses penarikan likuiditas dari sistem keuangan atas rencana proses penarikan likuiditas dari sistem keuangan.
Sebagaimana diketahui, sebagai bagian dari proses normalisasi kebijakan moneter pasca krisis 2018, sejak Desember 2017 the Fed dalam proses melepaskan kembali surat surat berharga yang diterbitkan swasta, dibeli the Fed untuk mengtasi krisis keuangan 2008/2009.
Artinya tengah terjadi penarikan likuiditas dari sistem keuangan. Surat berharga milik swasta yang ada pada neraca the Fed sampai saat ini baru turun ke US$ 3,86 triliun per Januari 2018, dari US$ 4,2 triliun yang bertahan sejak Januari 2014. Bila penarikan lkuiditas dari sistem keuangan dilakukam terlalu cepat maka dapat menimbulkan keketatan dolar AS di seluruh dunia.
Meski kondisi ekonomi AS semakin solid, namun diperkirakan tidak akan tetap kuat menahan pelemahan ekonomi global bila ekonomi Eropa, Jepang, dan China semakin kehilangan tenaga.
Memang data ekonomi AS terakhir masih menunjukkan kondisi yang solid. Data Change in Nonfarm Payrolls bulan Desember 2018 meningkat melebihi ekspektasi pasar ke level 312K (est. 184K) dari bulan sebelumnya yang direvisi naik ke level 176K (prior 155K) atau peningkatan ke level tertinggi dalam 10 bulan terakhir.
Menurut Nanang, sektor industrinya mulai melemah, terindikasi dari penurunan indek Purchasing Manager Index (PMI) dan ISM (Institute of Supply Management). Bahkan berbagai indikator manufaktur di Eropa dan China semakin menunjukkan kemerosotan sebagai indikasi perang dagang mulai menimbulkan efek negatif.
Baca juga: Rupiah 'Berotot' di Awal Pekan 2019 |
Dia menambahkan tetap memberikan ruang bagi rupiah untuk menguat, dan mengawal penguatan tersebut termasuk dengan membuka lelang domestic non deliverable forward (DNDF) pada pukul 8.30 dan dilanjutkan dengan intervensi bilateral melalui 8 broker secara "firm" meningkatnya aktivitas BI di pasar DNDF, selain untuk memastikan kurs offshore NDF terkendali, juga sebagai dukungan penunjuk bagi berkembangnya pasar DNDF agar lebin likuid dan efisien.
"Sudah terdapat 13 bank yang aktif di pasar interbank DNDF, sejumlah investor asing bertransaksi untuk hedging investasi di saham, dan sejumlah korporasi termasuk satu BUMN sudah melakukan transaksi," imbuh Nanang.
Selain dalam dollar USD/IDR, transaksi DNDF nasabah juga sudah ada yang melakukan dalam YEN/IDR dan Euro/IDT. "Bila transaksi DNDF ini terus berkembang dan banyak digunakan untuk hedging makan akan membantu men "smoothing" pembelian valas di dalam negeri, sehingga rupiah bisa lebih stabil," jelasnya. (kil/dna)