(AS). Ini tercermin dari data
danJakartaInterbankS potDollarRate (Jisdor) pada penutupan Jumat di bawah posisi Rp 14.300.
Bank Indonesia (BI) menyebut penguatan ini terjadi karena mulai meningkatnya kepercayaan pelaku pasar terhadap perekonomian di Indonesia. Selain itu juga karena mulai bekerjanya mekanisme pasar keuangan Indonesia.
Mengutip data
RTI, Jumat (4/1/2019), nilai tukar dolar Australia tercatat Rp 10.019. Rupiah terhadap dolar Australia menguat 74 poin dibandingkan sebelumnya Rp 10.093.
Lalu terhadap dolar Kanada tercatat 10.595 atau menguat 138 poin dibandingkan perdagangan sebelumnya yang sebesar Rp 10.691. Selanjutnya rupiah terhadap Swiss Franc tercatat Rp 14.461 atau menguat 138 poin dibandingkan sebelumnya Rp 14.600.
Sementara itu untuk China Yuan tercatat Rp 2.076, menguat 19 poin dibanding sebelumnya yang sebesar Rp 2.095 terhadap rupiah. Lalu Euro tercatat Rp 16.259 atau melemah 158 poin terhadap rupiah dibandingkan sebelumnya Rp 16.417.
Untuk mata uang British Pound tercatat Rp 18.208 menguat 172 poin dibandingkan sebelumnya Rp 18.036. Lalu dolar Hong Kong tercatat Rp 1.822 melemah 18 poin dibandingkan sebelumnya Rp 1.840.
Sementara untuk Indian Rupee tercatat Rp 204 melemah 1 poin dibandingkan sebelumnya Rp 205. Lalu untuk Japanese Yen tercatat Rp 132 melemah 2 poin dibanding sebelumnya Rp 134 terhadap rupiah.
Kemudian untuk Won tercatat Rp 13 stagnan di posisi yang sama dengan sebelumnya. Dengan Ringgit Rp 3.444 melemah 36 poin dibanding sebelumnya Rp 3.480.
Untuk dolar New Zealand tercatat Rp 9.545 melemah 97 poin dibanding sebelumnya Rp 9.642. Lalu untuk Peso tercatat Rp 271 berkurang 3 poin dibanding sebelumnya Rp 274.
Riyal tercatat Rp 3.821, melemah 21 poin dibandingkan sebelumnya Rp 3.842 terhadap rupiah. Kemudian dolar Singapura tercatat Rp 10.489 atau melemah 94 poin dibanding sebelumnya Rp 10.586.
Thailand Baht tercatat Rp 445 melemah 3 poin dibanding sebelumnya Rp 448. Dolar Taiwan tercatat Rp 462 turun 5 poin dibanding sebelumnya Rp 467.
Terakhir dolar AS tercatat Rp 14.270 melemah 140 poin dibandingkan sebelumnya Rp 14.410.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah menjelaskan dolar AS kini tak lagi menjadi primadona untuk pasar valuta asing (valas).
"Di tengah merosotnya harga saham di AS, dolar AS tak lagi menyandang 'safe haven currency' tapi saat ini tergantikan dengan yen Jepang," kata Nanang di Gedung BI, Jakarta Pusat, Jumat (4/1/2019).
Oleh karenanya indikator di pasar uang di AS seperti Fed Fund Future dan Overnight Index Swap (OIS) memberikan indikasi The Fed tidak akan menaikkan suku bunga kebijakan (Fed Fund Rate) di tahun 2019. Ekspektasi pasar ini membuat yield US Treasury Bond kembali merosot ke 2,55% dan Index Dolar (DXY) melemah ke 96,17.
Dia menjelaskan BI terus mewaspadai karena kondisi pasar keuangan global masih diliputi ketidakpastian. Hal ini terutama terkait memburuknya data ekonomi khususnya data manufaktur di berbagai negara termasuk di AS, China, Prancis, Jerman, dan Spanyol.
Melemahnya kegiatan manufaktur di berbagai negara tersebut merupakan dampak negatif dari yang sudah mulai dirasakan karena melemahnya kegiatan perdagangan antar negara. Lumpuhnya sebagian dari kegiatan pemerintahan di AS atau partial government shutdown bila berkepanjangan juga akan berdampak terhadap kegiatan konsumsi di AS.
"Ditambah lagi, dampak dari 'wealth effect' kemerosotan harga saham di AS yang berkelanjutan akan menyebabkan konsumsi tertekan karena besarnya kapitalisasi nilai saham terhadap PDB di AS," imbuh dia.
Kemudian di dalam negeri, suksesnya lelang surat berharga negara (SBN) pada 4 Januari 2018 juga menjadi katalis penguatan Rupiah. Hari ini Jumat dolar AS ditutup di Rp 14.265 atau menguat Rp 140 atau 0.97$ dibandingkan penutupan hari sebelumnya di Rp 14.405
Nanang menjelaskan dalam kondisi sentimen global yang cenderung mix, BI mengawal penguatan Rupiah tersebut untuk memperkuat keyakinan pasar terhadap rupiah.
Langkah mengawal penguatan Rupiah oleh Bank Indonesia ditempuh dengan membuka lelang DNDF pukul 8.30 selama 15 menit, yang kemudian dilanjutkan dengan direct intervention dengan menempatkan offer price DNDF di 8 broker sepanjang sesi perdagangan dalam jumlah yang signifikan.
"Dengan memanfaatkan momentum dan timing yang pas Bank Indonesia memberikan signal dengan melakukan intervensi di pasar spot dengan jumlah yang sangat terukur," ujar Nanang.
Pada 2018 dolar AS sempat menduduki posisi Rp 15.000 namun perlahan turun dan kembali ke bawah Rp 14.500.
Dikutip dari data perdagangan Bloomberg dalam paparan INDEF disebutkan rupiah sepanjang 2018 tercatat mengalami pelemahan 6,89%. Rupiah berada di tengah-tengah, tidak terlalu kuat dan tidak terlalu lemah.
Mata uang yang paling dalam pelemahannya adalah peso Argentina yang melemah 102,26%. Kemudian disusul oleh lira Turki yang melemah 39,53%.
Lalu ada rubel Rusia yang juga mengalami pelemahan sebesar 20,38%. Selanjutnya ada mata uang Brasil dengan pelemahan 17,17%. Lalu Afrika Selatan 17,02%.
Kemudian rupee India yang mata uangnya melemah 8,71%. Nah rupiah berada setelah India dengan pelemahan 6,89%. Setelah Indonesia ada poundsterling Inggris yang melemah 6,19%. Lalu China yang yuannya melemah 5,71%. Selanjutnya peso Filipina 5,24%.
Kemudian euro melemah 4,78%, won Korea Selatan 4,36%, ringgit Malaysia melemah 2,15%. Sedangkan dong Vietnam melemah 2,1%. Lalu dolar Singapura mengalami pelemahan 1,95%.
Untuk mata uang Arab Saudi melemah 0,03%. Sedangkan untuk baht Thailand menguat 0,69%. Lalu yen Jepang menguat 2,44%.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah pada penutupan 31 Desember 2018 nilai tukar rupiah tercatat mengalami pelemahan 5,75% sepanjang tahun 2018. Dia mengungkapkan BI optimistis tahun ini rupiah bisa lebih baik dibandingkan 2018.
"Pada penutupan terakhir (31/12) Rupiah menguat 1,24%. Dengan demikian Rupiah sepanjang 2018 year to date melemah 5,7%. Semoga di tahun 2019 bisa lebih baik lagi," jelas dia.