Dikutip dari CNN, Jumat (31/5/2019), perusahaan transportasi online tersebut merugi karena keputusannya untuk menyerahkan operasinya di dua negara kepada pesaingnya.
Uber yang baru menjual sahamnya kepada publik di awal Mei ini harus menerima kenyataan pahit. Uber yang telah lama menanti debutnya di Wall Street ternyata hanya dapat menjual sahamnya seharga US$ 42 per lembar saham. Padahal, harga yang ditargetkan saat IPO sebesar US$ 45 atau setara per lembar saham.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Saham Uber Terjun Bebas di Hari Perdana |
Selain itu, Uber juga memperoleh modal terbesar yang pernah diperolehnya dari selebriti dan juga Arab Saudi untuk mengembangkan pasarnya ke seluruh dunia.
Kini, Uber harus berjuang keras untuk memenangkan investor Wall Street yang masih mengkhawatirkan kerugian besar. Lalu, dampak perang dagang AS-Cina juga masih memperlambat gerak investor.
"Saya bangga dengan apa yang kami peroleh di IPO. Tetapi, saya sudah memperingatkan tim saya bahwa ini akan menjadi perjalanan yang panjang," tutur CEO Uber.
Uber membukukan pendapatan sebesar US$ 3,1 miliar di kuartal I-2019 atau setara Rp 44 triliun. Meskipun naik 20% dari tahun sebelumnya, investor masih belum menunjukkan antusiasmenya terhadap Uber karena menurut investor pendapatan tersebut masih terbilang kecil untuk startup yang telah mendunia, juga faktor kerugian yang dialaminya.
Untuk pendapatan dari antar-jemput online yang merupakan bisnis inti dari Uber hanya tumbuh 9% dari tahun 2018. Sedangkan, keuntungan terbesarnya Uber peroleh dari layanan pengiriman makanan.
Saingan Uber, yakni Lyft juga sempat mengalami jatuh bangun. Pada kuartal I-2019, Lyft mencetak kerugian sebesar US$ 1,14 miliar atau setara Rp 15,9 triliun.
Menurut CFO Lyft, Brian Roberts, tahun 2019 merupakan tahun dengan kerugian terbesar yang pernah diperoleh Lyft. Akhirnya, Lyft menyatakan bahwa perusahaan ini akan lebih meningkatkan kualitas pelayanan dibandingkan memberi diskon-diskon yang dapat menyebabkan kerugian. (ara/eds)