Uber Rugi Rp 14 Triliun Sepanjang Januari-Maret 2019

Uber Rugi Rp 14 Triliun Sepanjang Januari-Maret 2019

Vadhia Lidyana - detikFinance
Jumat, 31 Mei 2019 16:19 WIB
Uber/Foto: Reuters
Jakarta - Uber mengalami kerugian lebih dari US$ 1 miliar atau lebih dari Rp 14 triliun di kuartal-I 2019. Padahal, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy), pada kuartal-I 2018 uber mencetak laba sebesar US$ 3,75 miliar atau setara Rp 53,5 triliun.

Dikutip dari CNN, Jumat (31/5/2019), perusahaan transportasi online tersebut merugi karena keputusannya untuk menyerahkan operasinya di dua negara kepada pesaingnya.

Uber yang baru menjual sahamnya kepada publik di awal Mei ini harus menerima kenyataan pahit. Uber yang telah lama menanti debutnya di Wall Street ternyata hanya dapat menjual sahamnya seharga US$ 42 per lembar saham. Padahal, harga yang ditargetkan saat IPO sebesar US$ 45 atau setara per lembar saham.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menjelang laporan keuangannya, Kamis (30/5/2019), saham Uber akan diperdagangkan sekitar US$ 40 per lembar saham, 11% di bawah harga IPO. Namun, akhirnya saham uber ditutup dengan kenaikan harga 4% pada Kamis kemarin.


Selain itu, Uber juga memperoleh modal terbesar yang pernah diperolehnya dari selebriti dan juga Arab Saudi untuk mengembangkan pasarnya ke seluruh dunia.

Kini, Uber harus berjuang keras untuk memenangkan investor Wall Street yang masih mengkhawatirkan kerugian besar. Lalu, dampak perang dagang AS-Cina juga masih memperlambat gerak investor.

"Saya bangga dengan apa yang kami peroleh di IPO. Tetapi, saya sudah memperingatkan tim saya bahwa ini akan menjadi perjalanan yang panjang," tutur CEO Uber.

Uber membukukan pendapatan sebesar US$ 3,1 miliar di kuartal I-2019 atau setara Rp 44 triliun. Meskipun naik 20% dari tahun sebelumnya, investor masih belum menunjukkan antusiasmenya terhadap Uber karena menurut investor pendapatan tersebut masih terbilang kecil untuk startup yang telah mendunia, juga faktor kerugian yang dialaminya.


Untuk pendapatan dari antar-jemput online yang merupakan bisnis inti dari Uber hanya tumbuh 9% dari tahun 2018. Sedangkan, keuntungan terbesarnya Uber peroleh dari layanan pengiriman makanan.

Saingan Uber, yakni Lyft juga sempat mengalami jatuh bangun. Pada kuartal I-2019, Lyft mencetak kerugian sebesar US$ 1,14 miliar atau setara Rp 15,9 triliun.

Menurut CFO Lyft, Brian Roberts, tahun 2019 merupakan tahun dengan kerugian terbesar yang pernah diperoleh Lyft. Akhirnya, Lyft menyatakan bahwa perusahaan ini akan lebih meningkatkan kualitas pelayanan dibandingkan memberi diskon-diskon yang dapat menyebabkan kerugian. (ara/eds)

Hide Ads